Friday, December 4, 2015

Rumahku Surgaku



Tadi malam sebagian kota Jakarta baru saja diguyur hujan. Tidak lama, namun cukup membuat kesejukan di dalam kamar seluas 4 x 4 yang biasanya panas di kostan keluarga baru, Abdullah dan Raudhah. Barangkali masih terasa sejuk karena berada di pinggir wilayah Jakarta bagian timur. Dinginnya hawa itu membuat malas dan ingin terus berselimut sambil meluruskan badan dengan kaki terkujur.
Suara kokok ayam di Jakarta tidak ada bedanya dengan suara di Bandung. Meski hujan baru turun, ia tetap lantang menandai waktu subuh yang sebentar lagi akan tiba.
Abdullah segera bangun. Mengecup lembut kening istrinya yang masih tidur.
”Suara ayam itu membuatku terbangun.. saat ayam berkokok, ia melihat malaikat. Yuk ma, kita mohonkan karunia-Nya semoga kita senantiasa dalam bimbingan Alloh swt.”.
”Papa mau shalat?” tanya Raudhah yang masih tak tahan membuka kelopak matanya yang agak berat..
”Ya.. Papa mau shalat tahajud” jawab Abdullah singkat. Ia bisa memaklumi istrinya yang seharian kemaren mengerjakan pekerjaan rumah tangga, nyaris tanpa istirahat. Kemudian ia segera mengambil wudhu. Ia rasakan setiap tetesan yang mengenai tubuhnya yang agak kaku. Seolah mendinginkan dinding hati menyejukkan jiwanya yang ingin bermunajat kehadirat-Nya. Kemudian ia berdiri tegap menghadap kiblat di atas sajadah.
Azan subuh berkumandang. Abdullah bersiap berangkat ke mesjid. Dikecupkannya lagi dengan lembut ke kening Raudhah yang masih terbuai mimpi.
”Papa ke mesjid dulu Ma, mama tolong kuncikan pintu” bisik Abdullah.
Perlahan Raudhah bangun dari tidurnya. Mengantarkan suaminya yang sudah rapi dengan baju koko, bersarung dan berpeci ke depan pintu kamar.
Usai menjalankan shalat subuh, Raudhah menyiapkan sarapan. Menu telor mata sapilah yang terlintas diingatan.
Kompor listrik disiapkan, tapi kali ini lampu indikatornya tak menyala. Ada apa ya? Tanya Raudhah yang mencabut dan memasangnya kembali ke steker listrik berulang kali.
Di luar terdengar salam, ”Assalamualaikum.. ”.
Dan kewajiban Raudhah pun untuk menjawab salam, ”Waalaikum salam.warahmatullahi wabarakatuh[1].”
Begitu masuk, Abdullah takjub masih pagi sekali istrinya sudah sibuk bekerja menyiapkan sarapan untuknya.
Abdullah mengambil alat pembuka dan membongkar pemanas itu. Memperbaikinya. Namun usahanya sia-sia. Sesekali ia kibaskan ke wajahnya yang mulai berkeringat karena kompor listriknya belum menyala
“Nanti kalau rumah kita sudah ada dapur, kita beli kompor” kata Abdullah. ”Tadi papa sudah tahu kalau kompor ini mati waktu mau membuat air hangat”.
”Iya Pa ngga papa...  kalau memang ngga bisa diperbaiki, kita cari lagi nanti”.
”Ya Ma, sementara mama ngga usah masak dulu. Kita bisa beli nasi dan lauk di luar. Mama juga enak, ngga repot masak”
”Tapi Pa, beli makanan di luar jatuhnya lebih boros. Kita masih banyak keperluan”
Abdullah mulai menyadari kehidupan di rumah tangganya harus mulai dibangun. Ada hal baru seperti kebiasaan mengambil keputusan sendiri, mulai kini mesti dihindari. Dia tidak bisa mengikuti egonya lagi, karena pasti banyak hal nanti jalan hidup yang mereka lalui melibatkan pasangan hidup untuk senantiasa berdiskusi.
”Maafkan Papa, ya Ma...ngajak Mama pindah ke Jakarta tinggal di rumah kecil mungil bahkan sempit seperti ini” kata Abdullah.
”Ngga Papa Ma, Mama bersyukur bisa tinggal di kamar seperti ini. Yang paling penting juga kita masih diberikan kelapangan hati oleh Alloh dan kenikmatan bisa beribadah”.
”Siapa yang menciptakan kita, Pa?” tanya Raudhah.
”Alloh Ma..”.
”Siapa yang  menciptakan keperluan kita?” tanya Raudhah lagi.
”Alloh..”
”Siapa yang  menciptakan udara sehingga kita masih bisa bernafas”
”Alloh ..”
”Tubuh kita sebagian besar terdiri dari air. Siapa yang menciptakan air?”
”Alloh.. ”
”Alloh pasti akan memberikan rejeki, yang mempertemukan kita, yang menginginkan apa yang kita perlukan. Alloh Maha Tahu apa yang kita perlukan..” jelas Raudhah.
Subhanallah... kata-kata mama menyejukkan. ”Betul Ma... ini namanya kebahagian yang tidak bisa dibeli”.
”Yang membuat kita semakin bahagia adalah justru kita mendapatkan sesuatu itu menjadi jalan kita yang ditunjukkan dan dibimbing-Nya agar kita juga semakin dekat dengan Alloh”.
”Papa bersyukur semoga rumah tangga kita ini menjadikan kita senantiasa untuk terus mendekatkan kita kepada Alloh” Abdullah kemudian meraih Al Quran yang sudah melambaikan sejak subuh tadi. Dibukanya surat Al Kahfi 10 dan menjiwai arti yang berbunyi:
(Ingatlah) tatkala para pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa: "Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)."
Pagi hari dibulan keempat, tak seperti biasanya. Raudhah muntah-muntah. Abdullah segera membawanya ke dokter. Kabar yang tak diduga, hasil pemeriksaan dokter mengabarkan bahwa Raudhah sedang hamil. Abdullah bersyukur karena Alloh swt akan mengaruniai seorang anak, tentu hal ini tidak luput dari pengetahuan-Nya[2].
Beberapa bulan dilewati, mereka berencana untuk mempersiapkan kelahiran anak pertama nanti di Tanjungsari.
Di hari Jumat, Abdullah masih bekerja. Setelah shalat Jumat ada pesan singkat yang masuk di ponselnya.
“Papa, Alhamdulillah anak kita lahir. Perempuan.”
Alhamdulillah! Rasa syukurnya Abdullah pada Alloh yang telah memberikan anak perempuan yang sehat. Kabar ini pun diteruskan kepada kedua orangtuanya, mama dan abah yang ada di kalimantan dan saudara-saudaranya yang tinggal di kota yang berbeda.


[1] Arti salam: Semoga kedamaian dilimpahkan kepadamu diiringi dengan rahmat dari Allah dan juga barakah dari Allah untukmu.

[2] QS. Faathir [35] : 11

Hari Bahagia



Setelah wisuda, Abdullah mendapat tawaran kerja dari Sidiq temannya yang kocak yang sudah lebih dulu lulus kuliah dibanding Abdullah. Dengan penuh semangat Abdullah menerima tawaran kerja di salah satu perusahaan swasta terkenal di Jakarta. Seperti biasa, Abdullah tetap mengikuti seleksi karyawan, mulai dari interview dan psikotest. Tidak ada kolusi dan campur tangan Sidiq.
“Aku yakin engkau bisa lulus tanpa aku bantu” ucap Sidiq.
“Insya Allah. Terima kasih,  Diq?” balas Abdullah meyakinkan.
Seminggu kemudian, di kost Abdullah di Bandung, Yamin  bertandang ke kost Abdullah. Ia sudah duduk di samping kasur temannya itu. Sementara Abdullah asik duduk di depan komputer. Di layar monitornya, Yamin sempat memperhatikan ada yang dicari oleh Abdullah di mesin pencari Google. Beberapa kali daftar halaman pencarian ditampilkan, tetapi temannya itu masih mencoba dengan kata kunci lain yang berhubungan.
“Dul, tadi aku beli minum dan cemilan” Yamin menawarkan.
Abdullah hanya melirik dan mengangguk kecil, “Sebentar ...”.
Yamin membuka Al Quran kecil dari sakunya. Dan mulai membacanya dengan suara merdu dan syahdu. Tiga lembar bacaan Yamin diakhiri setelah mendengar Azan.
“Abdullah, kita shalat dulu, yuk!” ajak Yamin.
“Di sini saja ya, aku lagi menunggu teman” rayu Abdullah sambil menuju ke tempat wudhu.
Sore itu sebelum shalat Ashar dimulai, tak biasanya Yamin berdiri di samping kanan imam, setelah membentangkan sajadah berwarna biru.
"Abdullah, kau kan laki-laki, karena kita sekarang ini akan shalat berjamaah, kau yang menjadi imam, ya", ungkap Yamin. Mulanya Abdullah menggeleng enggan. ”Ayo, kita ditakdirkan Alloh untuk bisa menjadi imam. Kalau nanti-nanti kapan kau akan belajarnya?”. Akhirnya ia menerima saran Yamin yang memotivasi dirinya untuk belajar jadi imam.
Setelah shalat Ashar ditunaikan, suara motor berhenti di depan kost Abdullah.
“Pos.. Pos!!” kata tukang pos yang mengendarai motor berwarna jingga.
“Terima kasih pak” kata Abdullah setelah menerima amplop yang ditujukannya.
“Sebentar pak!” kata Yamin dari dalam kamar. Abdullah sempat heran.
“Ini Pak, ada minuman dan cemilan” sahut Yamin yang tiba-tiba sudah berada di samping Abdullah membawakan bungkusan.
Abdullah teringat dengan kejadian beberapa waktu lalu, ketika pulang dari kampus bertemu dengan bang Adi si penjual bubur.
“Warna untuk pelangi yang baru kau goreskan itu begitu indah, Min!” bisiknya dalam hati. Abdullah kemudian membuka amplop itu. Ia membaca sebuah surat yang berkop dari perusahaan susu. “Alhamdulillah..”, Abdullah mendapatkan pekerjaan itu. Betapa bersyukurnya Abdullah setelah menerima surat diterimanya ia di perusahaan baru”.
Hari-hari Abdullah terasa begitu lengkap dengan hadirnya seorang wanita yang Ia harapkan bisa menjadi pendampingnya. Raudhah namanya. Raudhah masih menempuh studi S-1 semester 4 di kampus yang sama dengan Abdullah. Abdullah harus sabar menunggu setidaknya hingga Raudhah menyelesaikan studinya. Sepanjang penantiannya, Abdullah bekerja di Jakarta, sebulan sekali Abdullah menyempatkan diri ke Bandung untuk mengunjungi Raudhah.
Dua tahun sudah berlalu, Abdullah masih disibukkan dengan pekerjaannya. Sering kali Abdullah melakukan perjalanan kerja ke luar kota mengunjungi kantor cabang untuk memberikan training.
“Apa kabar Mas… Lagi sibuk ya… Alhamdulillah, minggu depan aku yudisium. Doain semua lancar ya..”
Siang itu, Abdullah menerima pesan singkat dari Raudhah. Abdullah sangat senang dan tak henti mengucap syukur. Dalam hatinya Abdullah berguman, inilah saatnya merencanakan masa depan. Sebelumnya, Raudhah dan Abdullah memang sudah beberapa kali membicarakan rencana masa depan mereka. Mereka sepakat untuk melangsungkan pernikahan setelah Raudhah menyelesaikan kuliahnya. Abdullah sudah pernah menyampaikan niatnya pada orangtuanya dan juga pada orangtua Raudhah.
Malam harinya Abdullah menelepon orangtuanya.
“Bah, Ma, Saya mau minta doa restu” Ujar Abdullah dengan penuh keyakinan. Ia sangat yakin, berita yang ia sampaikan adalah berita bahagia bagi orangtuanya.
“Doa restu untuk apa, Mama selalu akan mendoakanmu” jawab ibu Abdullah.
“Abdullah minta Abah Mama melamar Raudhah, karena Raudhah sudah lulus Ma” pinta Abdullah kemudian.
Subhanalloh… Walhamdulillah… Insya Allah Abah Mama akan datang… Nanti Abah mama diskusi dulu kapan bisa datang ke sana. Nanti mama kabari ya..”
Hati Abdullah sangat senang, tak sabar rasanya menunggu hari itu tiba.
Keesokan harinya, ibu Abdullah menelpon dan memberitahukan bahwa beliau akan datang bulan depan untuk melamar Raudhah. Kemudian Abdullah memberitahukan rencana tersebut pada Raudhah. Kemudian Abdullah menelpon orangtua Raudhah untuk memberitahukan kedatangan orangtuanya bulan depan.
Dalam pertemuan keluarga Abdullah dengan keluarga Raudhah, diputuskan bahwa pernikahan akan dilangsungkan 6 bulan ke depan. Berbagai persiapan dilakukan. Mulai dari gedung, katering, dekorasi, perias, busana, penginapan juga transportasi. Pernikahan ini diharapkan menjadi pernikahan sekali seumur hidup, sehingga Abdullah dan Raudhah berusaha mempersiapkannya secara maksimal. Meskipun ada kendala di sana sini, semua wajar. Maklum, ini adalah hal yang pertama kali buat keduanya dan mudah-mudahan jadi yang terakhir kalinya. Mereka tidak menginginkan pernikahan yang mewah, hanya saja, mereka ingin membuat pernikahan mereka berjalan sakral dan lancar.
Setelah masa perkenalan selama lebih dari 2 tahun, akhirnya hari yang dinantikan itu pun tiba. Dengan dibalut kebaya berwarna putih, yang dijahit sendiri oleh ibu Abdullah, Raudhah tampak bahagia duduk bersanding dengan pria yang telah dipilihnya untuk menjadi pendamping hidupnya. Abdullah tampak gugup bercampur bahagia. Maklum, tak terbayangkan bagaimana rasanya mengucapkan ijab kabul. Rasa gugupnya jauh melebihi sidang tugas akhir di depan profesor pengujinya, pikir Abdullah. Mulutnya sesekali terlihat komat kamit, memanjatkan doa, agar ia bisa mengucapkan ijab kabul dalam satu nafas dengan lancar. Akhirnya saat itupun tiba. Dengan penuh keyakinan, Abdullah bisa mengucapkan ijab kabul dengan lantang. Alhamdulillah…
Setelah ijab kabul diucapkan, Yamin menghampiri Abdullah, menyalami kemudian memeluknya. Yamin membisikkan sebuah kalimat yang pernah diungkapkan sebelumnya pada saat masih di kost.
"Abdullah, kau kini menjadi seorang suami, lakukan dengan berjamaah dengan istrimu, kau yang menjadi imam dalam keluarga ini. Barakallahu fiikum.."
Siang harinya, resepsi dilaksanakan di tempat yang sama. Abdullah dan Raudhah tampak bahagia menyalami dan menerima ucapan selamat dari sanak saudara, teman dan undangan yang datang. Tak tampak rona kelelahan dari keduanya. Senyum tetap terlihat dari keduanya.
Setelah menikah, Raudhah langsung diboyong Abdullah untuk tinggal di Jakarta. Hal itu sudah dibicarakan sebelumnya dengan kedua orang tua Raudhah dan mereka ikhlas melepas Raudhah.

Wisuda



Sudah enam tahun berlalu Abdullah menapaki hidup sebagai Mahasiswa, akan tetapi belum ada tanda-tanda Abdullah menyelesaikan kuliahnya. Hingga pada suatu hari adiknya, Daud yang selisih satu tahun lebih muda umurnya menelpon.
“Mas, aku mau minta ijin…” kalimat Daud tertahan. Sepertinya dia ragu.
“Minta ijin apa?”Abdullah bertanya-tanya dalam hati. Tidak biasanya adiknya seperti ini kalau telpon. Biasanya ceritanya panjang dan penuh semangat.
“Kalau boleh, aku mau nikah duluan… Maaf ya Mas..”, Daud merasa sangat bersalah karena harus melangkahi pernikahan kakaknya.
Memang Daud sudah lebih dulu menyelesaikan kuliah dan sekarang sudah bekerja sebagai karyawan di salah satu bank swasta di kota Solo. Abdullah juga tahu persis kalau adiknya memang sudah memiliki calon isteri.
Abdullah menarik nafas panjang. Ia sebenarnya sudah menduga hal ini, Abdullah memaklumi dan hanya bisa pasrah dan ikhlas.
“Ga ada masalah kok, kamu boleh duluan menikah”, Abdullah menjawab dengan penuh yakin. Meski sebenarnya masih ada rasa yang terbersit, tapi entah apa… tak sanggup diungkapkannya.
Setelah menerima telpon itu, Abdullah mulai berpikir untuk sesegera mungkin menyelesaikan kuliahnya. Telepon itu merupakan suatu tamparan keras buat hidupnya. Selama ini, Abdullah terlalu terlena dengan pekerjaannya, ia membanggakan gajinya. Padahal semestinya, kewajibannya sekarang adalah menyelesaikan kuliah. Abdullah yang saat ini berusia 27  tahun seakan sadar, bahwa diusianya ini juga harus mulai memikirkan masa depannya untuk menikah.
“Aku tidak boleh terlena dan menyerah!” batinnya dalam hati. Ia tekadkan dengan bulat. Ia berniat untuk menyelesaikan kuliahnya dengan cepat.
Sejak saat itu, Abdullah mulai mengurus daftar ulang ke kampusnya, setelah cuti selama dua tahun. Kemudian Abdullah mulai aktif mengejar dan mengikuti beberapa sks yang masih tersisa, sembari mulai mengumpulkan bahan untuk tugas akhirnya.
“Mas Abdullah sekarang rajin kuliah” komentar bang Adi, penjual bubur yang mangkal di pengkolan dekat pintu keluar kampus.
“Ee bang Adi. Apa kabar, Bang?”
“Alhamdulillah baik..”
“Iya Bang, saya mesti menyelesaikan kuliah”
“Bagus itu! Memang harus fokus Bang kalau sekolah atau kuliah..”
“Fokus?” tanya Abdullah, “Iya bang Ya, sepertinya saya kurang fokus”.
Tiba-tiba di samping Abdullah sudah berdiri orang tua dengan pakaian berdebu dan agak hitam. Wajahnya berkeriput. Ia memegang mangkuk plastik dengan sedikit gemetar. Di dalamnya ada beberapa uang koin dan selembar ribuan. Menyodorkannya ke depan tempat Abdullah berdiri. Abdullah segera merogoh kantong celananya. Ada sisa koin kembalian dari tukang parkir di stasiun kemaren.
“Pak, mau makan?” tanya bang Adi kepada pengemis itu. Bang Adi tidak mendapat jawaban. Pak tua itu diam. Ia menyaksikan pak tua itu menelan air liurnya untuk membasahi kerongkongannya yang mungkin kering. Ia juga sempat melihat bapak itu membawa mangkok agak gemetar, pasti dia lapar.
“Ini Pak makan bubur dulu” kata bang Adi.
Pengemis itu dengan lahap menghabiskan bubur yang tersaji. Kemudian pengemis itu pamit pergi. Ucapan terima kasih dan doa dari pengemis membuat hati Abdullah menjadi tertegun. Jarang ia melihat pemandangan itu.
“Mas Abdullah, hidup itu cuman sebentar” bang Adi membuka diskusi lagi.
“Iya bang, kalau di Quran seperti disebutkan kita ini seperti dalam permainan dan senda gurau[1]” balas Abdullah. Bang Adi yang mendengar wajahnya menengadah ke atas menatap langit sambil menyimak  ayat yang baru saja disampaikan Abdullah dengan pesan yang dalam. Sesekali ia manggut-manggut sambil mengingat.
“Mas Abdullah pernah lihat pelangi, kan?” sambungnya. “Sebenarnya kitalah yang menggoreskan pelangi itu dalam kehidupan kita. Pelangi yang kita goreskan dengan beraneka warna. Nantinya kita akan melihat ketika sampai di ujung surga” komentar bang Adi singkat. Abdullah tercengang, kata-kata itu dalam mengandung banyak hikmah.
Subhanallah” kata Abdullah menatap bang Adi dengan mata membelalak lebih tajam.
“Iya bang, hidup itu penuh warna ya.. kita yang memilih goresan warna itu, mana yang akan membuat kita agar dapat lebih indah nantinya” lanjut bang Adi.
“Hmm.. “ Abdullah hanya bergumam dan membayangkan beberapa kejadian lalu yang pernah ia temui, termasuk satu kejadian bersama bang Adi. Abdullah cukup menyesali kenapa kesempatan untuk meggoreskan pelangi itu, disia-siakannya begitu saja.
“Fokus ya, Dul!” ingat bang Adi lagi. “Sebenarnya Alloh swt Yang Maha Penyayang sudah membimbing kita setiap hari. Seperti perintah shalat. Kalau kita bisa khusyu’ dalam shalat, Insya Allah kita bisa fokus dalam segala hal. Alloh pun menjanjikan kebaikan, kita dijauhkan dari perbuatan buruk dan mungkar[2]”.
Kalimat terakhir bang Adi membuat pikiran Abdullah semakin menerawang. Dia bercermin pada dirinya, apakah sudah menjalankan dengan baik dan benar? “Makasih bang, Insya Allah saya akan ingat nasehat abang” dilontarkan Abdullah sembari pamit pulang.
Dengan ikhtiar dan doa, setelah melewati masa sulit berjuang menyelesaikan kuliahnya, akhirnya Abdullah mampu menyelesaikan kuliahnya dalam kurun waktu satu tahun.
“Ma, Bah, bulan Desember bisa ke Bandung, nggak?” tanya Abdullah pada orang tuanya lewat telpon.
“Lho memangnya ada apa?” tanya Abah sedikit heran.
“Insya Allah Abdullah mau wisuda Bah…”jawabnya
“Subhanalloh… walhamdulillah…”, ibu Abdullah terdengar memanjatkan doa setengah berteriak kegirangan. Segera ibu Abdullah sujud syukur.
Linangan airmata Abdullah tumpah, terharu rasanya mendengar ibunya berteriak bahagia. Mungkin inilah hal yang ditunggu-tunggu Mama, pikir Abdullah.
Abdullah sangat bahagia, jauh di dasar hatinya ada rasa penyesalan, kenapa setelah waktu yang begitu lama kebahagiaan itu baru bisa Abdullah kabarkan… seandainya lebih cepat… seandainya jauh hari sebelumnya ia bertekat bulat… Tapi, nasi sudah menjadi bubur, semua sudah berlalu. Tak ada gunanya menyesal. Yang terpenting baginya, adalah ia merasa sudah menunaikan salah satu tugasnya. Semua demi masa depannya dan sekaligus sebagai kebanggaan bagi orangtuanya karena anaknya sudah bertitel sarjana.


[1] QS Muhammad [47]: 36
[2] QS Al Ankabuut [29]: 45

Salah Masuk



Pagi-pagi Andre sudah berdiskusi di kamar Abdullah. Di temani cahaya matahari yang masih terasa sejuk. Kadang angin yang berhembus dingin ke kulit tubuh ini serasa menusuk. Abdullah membentenginya dengan jaket kuning tebal. Katanya, agar perut yang keroncongan yang nanti menghampiri bisa dihindari, juga tidak cepat lapar.
Bang Adi, penjual bubur di gang Cikutra sudah mulai mangkal pagi itu di depan kost Abdullah dan Andre. Suara ’teng-teng-teng’ mulai digelar di sepanjang gang. Gemanya terdengar dari satu ujung gang ke ujung gang lainnya.
”Wah, itu bubur Bang Adi. Hebat benar Bang Adi ini, mengambil posisi strategis. Kalau diukur dari jalan masuk gang ke ujung gang lainnya, jatuhnya persis di dekat kost-an kita. Pantas saja dia sering mangkal di sini, ya?” ujar Andre pada Abdullah yang sedang asik di depan komputernya. Dia sedang menyelesaikan satu pesanan website dari pelanggan barunya.
”Kalau jualan kita harus pinter-pinter ikhtiar. Bunyian mangkok itu sudah khas-nya bang Adi. Nah, itu kalau jualan di dunia nyata. Kalau di dunia maya, ikhtiarnya kita bisa pake website” balas Abdullah.
”Kau mau sarapan Bubur?”
”Boleh. Maaf Dre, bisa minta tolong pesankan? Saya ngga pake kacang.. ”
”Ok, bentar ya..aku pesankan”
”Bang Adi, pesan bubur dua. Satu pake kacang, satu lagi ngga?”
”Siap! Satu lagi buat siapa?” tanya bang Adi.
”Buat Abdullah”
”Gimana kuliah Abdullah? Rasa-rasanya dia jarang kelihatan di kampus”
”Lho, kok bang Adi tahu?”
”Iye, kan abang sering mangkal di pojok jalan pengkolan kampus, pas pintu keluar”.
”Jadi abang hapal, siapa aja yang rajin ke kampus dan ngga di gang ini”.
”Iya Bang, kuliahnya Abdullah ngga mulus, setelah dia kenal satu hobi barunya. Dia keasyikan”.
”Abdullah, makan nih.. buburmu sudah siap” Andre meletakkan bubur yang masih hangat itu di samping Abdullah.
”Terima kasih, Dre” kata Abdullah singkat. Tangannya masih lincah menari di atas keyboard mengetikkan kode HTML[1], kadang tangan kanannya menggerak-gerakkan mouse.
Sembari menghabiskan bubur ayam yang dipesan, Andre mendapat lanjutan cerita kuliahnya Abdullah kenapa tidak mulus. Abdullah menjelaskan pada saat ia masih aktif kuliah, menemukan hobi barunya sebagai seorang webdesigner. Awalnya, Ferry  yang lebih dulu jago mendesain web mengajarinya. Abdullah merasa beruntung, karena pada saat itu, internet masih menjadi barang langka. Jadi, sangat jarang orang yang mahir dalam pengoperasiannya. Setelah mendapat pelatihan singkat dari temannya itu, Abdullah menjadi betah berlama-lama di depan komputer. Ia mencoba membuat website ini dan itu. Ditambah lagi, Abdullah mendapat tawaran menjadi asisten laboratorium komputer di kampusnya. Otomatis waktunya banyak dihabiskannya pula di sana.
Berkat hobi barunya ini, Abdullah juga mendapat beberapa pesanan membuat website, baik dari perorangan maupun dari instansi. Hal ini menyebabkan kuliah Abdullah menjadi terbengkalai. Bahkan Abdullah secara sukarela menjadi webdesigner dari sebuah band favoritnya yang terkenal di negeri ini. Untuk mendapatkan informasi dan foto-foto terbaru dari band ini, Abdullah seringkali meninggalkan kuliah dan ikut tour bersama band tersebut. Kemudian, Abdullah memutuskan cuti dari kuliahnya dan bekerja di salah satu perusahaan penyedia layanan internet di Jakarta.
Ponsel Abdullah berbunyi. Dari nama yang tampil di layar, tertulis F.SBY.Amin. Nama yang dia buat sengaja di ponselnya dengan klasifikasi tertentu. F menunjukkan singkatan ‘family’ sedangkan SBY kependekan dari Surabaya. Kalau daftar nama di ponsel Abdullah didownload dan dicetak, semua klasifikasi dari keluaga dekat, ia beri kode diawali A. Jadi ada nama A.Mama, A.Abah, A.Daud dan A.Sholeh. Sedangkan teman dekatnya ia beri kode B.SD, untuk kode teman SD, B.SMP untuk kode teman SMP diteruskan SMA dan terakhir KUL, untuk kuliah. Susunannya rapi. Sehingga memudahkan dan efektif jika ia ingin sms ke banyak tujuan.
Abdullah membayangkan wajah yang berbicara dari ujung telpon sana, terdengar suara pria menyapa, “Assalamulaikum, Abdullah..”
“Waalaikum salam om Amin. Kapan mau ke Bandung?” jawabnya.
“Insya Allah besok, Dul! Pakai kereta Mutiara Selatan”
“Oya, besok Insya Allah saya jemput ya.. jam berapa om jadwal tibanya? ”
“Insya Allah jam 06.15 WIB, Dul”.
“Iya Om, makasih infonya ya Om. Nanti kalau sudah sampai keluarnya di pintu kanan ya Om. Saya nunggu di sisi Kanan.” Jelas Abdullah mengarahkan.
“Ya Dul, Assalamualaikum” tutup om Amin.
“Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh” Abdullah menjawab sambil menutup telepon. Di daftar kontak ia pilih sederetan kode yang berawalan A, beberapa nama dikirimkannya sebuah sms.
“Sip!  aku sudah kasih kabar..”
“Kabar apa?” tanya Andre.
“Ooh, ada om Amin dari Surabaya. Dari sepupu abah. Biar yang lain tahu kukirim juga ke orang tua dan adik-adikku”
“Kok bisa cepet ngirimnya?”
“Gini Dre, untuk mempercepat, biasanya kubuat daftar nama dengan didahului nama grupnya” kemudian Abdullah menjelaskan detil caranya. Dengan cara ini akan selain memudahkan kita juga mengirim sms, memudahkan orang lain juga menerima sms dengan cepat.
“Kan bisa dibuat grup?”
“Itu juga bisa... tapi lebih sering aku  terlewat bikin di grupnya. Dan cara ini yang lebih praktis kalau kita juga ingin mencari nama-nama satu grup di ponsel kita ”, jelas Abdullah.
Esoknya setelah melaksanakan shalat subuh, Abdullah berangkat menuju stasiun Hall dengan motornya. Ia memutuskan menjemput Om Amin yand datang dengan kereta dari surabaya. Sampai di parkiran, terdengar tausyiah ustadz yang biasa mengisi di  MQ FM. Arah suara itu rupanya dekat dengan tukang parkir yang menjaga pintu masuk tadi. Kurang tiga meter dari situ ada musholla. Ada teras di depannya.
“Aha, aku bisa  duduk di depannya” bisik Abdullah. Diam-diam Abdullah mencuri suara, menimba ilmu sambil duduk menunggu. Benar kata Yamin, kalau pagi hari kita bisa memilih santapan yang nyaman untuk ruhani, hati ini bisa jadi berbeda dampaknya. Ia membenarkan pendapat sahabatnya, bukan acara berita yang berisi berita kecelakaan, berita pencurian atau berita yang tidak membahagiakan hati ini yang mestinya disampaikan. Tapi berita-berita yang dapat membangkitkan semangat atau membangkitkan prestasi. Isi tausyiah sudah ditutup dengan doa, artinya durasi acara ini hampir habis. Selanjutnya pasti diisi berita, jadwalnya jam enam pagi. Kereta Mutiara Selatan dari Surabaya dijadwalkan datang sebentar lagi.
Tak lama, kereta yang ditunggu tiba. Penumpang tumpah keluar dari kedua pintu di ujung gerbong. Sengaja aku mengambil posisi lebih tinggi dan sedikit jauh. Agar pandangan mata dapat melihat bebas memantau gerbong berhenti.
Beraneka macam tingkah polah penumpang, ada yang jalan santai sambil melambai, ada yang menelpon, ada yang berlari ke arah toilet. Mungkin ia kebelet sambil menenteng barang.
Om Amin sangat mudah kukenali. Karena ia mengenakan peci putih favoritnya, seperti pak Haji. Aku bisa mengenalinya tapi Om Amin terlihat masih mencari-cari.
“Assalamualaikum Pak Haji” celetuk Abdullah.
“Waalaikum salam, Abdullah ya?”
“Iya Om”
“Alhamdulillah. Wah, sudah besar kau sekarang! Om tahu nomor kamu dari abah di kalimantan” jelas Om Amin.
“Iya Om, Mama dan Abah juga cerita tadi malam”.
“Gimana kabar tante di Surabaya?”
“Alhamdulillah sehat”
“Sini Om, saya bawakan tasnya” dengan gesit dan sigap Abdullah membawakan tas tentengan om Amin.
Obrolan berlanjut sampai parkiran, juga selama di perjalanan.
“Besok pagi om acara bebas” om Amin menjelaskan.
“Kita ke DT mau ngga om?” ajak Abdullah semangat.
“DT apa itu?”, tanya om Amin sambil mengangkat secangkir teh, mengucap basmallah dan meminumnya
“Daarut Tauhiid. Jadi kita shalat subuh di sana, setelah itu kita bisa mengikuti tausyiah” 
“Boleh!” jawab om Amin singkat, kemudian ia meneruskan  minum seteguk lagi teh hangat yang disediakan Abdullah.
Waktu subuh yang dijadwalkan tiba. Mereka bersiap mengikuti tausyiah di pesantren DT yang letaknya di Gerlong.
“Gerlong itu daerah mana, Dul. Om masih asing dengan kota Bandung”.
“Gerlong itu sebenarnya singkatan, om, geger kalong”  Abdullah menjelaskan sambil menahan dingin pagi yang menerpa di wajahnya.
“Untung om pake jaket tebal dari kamu. Padahal om tadi sempat menolak ngga mau. Om pikir dinginnya biasa saja” suara om Amin datang dari belakang.
“Kalau kita ngga berangkat pagi, bisa ngga dapat tempat” karena banyak jamaah yang silaturahim ke pesantren ini.
Setiba di depan mesjid DT, benar saja dugaan Abdullah. Lima belas menit sebelum masuk subuh, sudah banyak jamaah yang memadati jalan di depan mesjid itu. Sandal kulepas dan kutinggalkan di teras. Beruntung Abdullah dan om Amin sudah membawa wudhu sejak berangkat dari rumah[2]. Sungguh mulia pesan sang Nabi SAW yang telah menyampaikan kemuliaan untuk berwudhu sebelum berangkat ke mesjid. Mereka tidak perlu mengantre di mesjid.Mereka berupaya menjumpai keutamaan shalat, yaitu shaf pertama dan keutamaan sebelum azan dikumandangkan[3]. Alhamdulillah, mereka mendapati kelapangan dalam memilih shaf pertama. Masih banyak kosong. Anehnya, shaf yang dibelakangnya malah terisi. Malah yang banyak terisi shaf di bagian belakang. Padahal jika mereka mengetahui riwayat dari Sang Nabi SAW, banyak keutamaannya untuk mengisi shaf terdepan.
Abdullah sempat memperhatikan seragam dan name tag diantara para jemaah yang baru datang. Ada yang dari Tasik, Cirebon, Semarang, Yogya, Surabaya dan Malang. Subhanallah, dari berbagai kota mereka kumpul di sini. Aku yang satu kota, ke mesjid ini baru pertama kali.
Setelah shalat subuh dijalankan, Aa Gym pendiri pesantren di DT ini, naik mimbar. Audio di mesjid memperdengarkan jingle dari stasiun radio yang tidak asing kudengar. Rupanya ada siaran radio langsung yang merelay tausyiah Aa ke stasiun radio yang ada di kota di Indonesia, radio manca negara dan streaming yang dapat diakses melalui radio internet[4].
Om Amin kagum dengan sistem yang dibuat oleh pesantren ini dibangun dengan sedemikian rupa untuk kemaslahatan umat. Sebelum acara tausyiah di tutup, Aa sempat berpesan untuk tamu yang sudah datang ke mesjid silakan melanjutkan acara kunjungan ke rumah Aa yang ada di belakang mesjid.
“Om, ikut saya, yuk!” bergegas Abdullah dan om Amin berdiri.
Sampai di teras depan, kuperhatikan sekeliling mesjid. Cahaya matahari sudah menerangi lingkungan DT. Jamaah masih banyak, bahkan lebih padat. Ada yang duduk sambil beristirahat, ada yang terus beribadat, mengobrol dan berjabat. Pagi itu ramai, mungkin karena waktu bubarnya bersamaan dengan penduduk di sekitar yang berangkat ke kantor atau sekolah, sehingga membuat jalan penuh.
Abdullah menjelaskan beberapa tempat yang ada di lingkungan DT. Setiba di dekat rumah Aa, Abdullah berkomentar.
“Nah, ini om rumah Aa yang sederhana, tapi asetnya bertebaran dimana-mana”, canda Abdullah. Om Amin tersenyum mendengarnya.
Sampai di samping rumah Aa, sudah disediakan karpet merah dan slide proyektor. Tak berapa lama, area itu sudah padat. Abdullah dan om Amin kali ini duduk di belakang.
Aa Gym menyambutnya, “Wah, dari mana saja ini tamunya?”
“Ada yang dari Garut?” tanya Aa. Sebagian jamaah yang berseragam mengangkat tangan. Aa melambaikan tangan sambil tersenyum sambil bertanya lagi, “Surabaya?”.
Abdullah dan om Amin spontan mengangkat tangan.
“Kalimantan?” tanya Aa lagi mengabsen satu per satu.
Abdullah juga heran, kenapa semua berseragam? Jangan-jangan ini jamuan khusus untuk jamaah yang diundang. Astagfirullah, salah masuk! Batinnya.
Aa mungkin memperhatikan kami berdua, karena kami tidak berseragam. Kemudian ia berkomentar lagi sambil menatap kami, “Untuk sahabat Aa yang hadir dengan rombongannya, silakan menikmati hidangan ala kadarnya. Sahabat Aa yang lain, jika ingin berfoto bersama Aa, silakan ke area taman”.
Aku langsung berdiri diikuti om Amin, kemudian menuju ke area taman. Abdullah baru sadar apa yang baru dialaminya adalah salah masuk ke acara undangan Aa. Tapi Aa dengan santun menyampaikan dan mengajak kami untuk foto bersama.


[1] HTML – Hyper Text Markup Language, bahasa yang digunakan untuk membuat website
[2]HR. bukhari no. 611
[3] HR. bukhari no. 580
[4] Radio Internet adalah media yang dapat diakses melalui browser internet, software atau ponsel yang memiliki fitur radio internet. Dengan  memasukkan alamat tertentu, siaran radio dapat didengarkan dari belahan bumi manapun.

Pesan di Perjalanan



Pukul delapan kurang lima belas, Yamin sudah datang ke tempat Abdullah yang tengah berhias. Rambut diaturnya, sedemikian rupa di depan cermin bening, sampai-sampai jerawat Abdullah terlihat jelas.
Yamin memang sahabat yang bisa diandalkan. Ia tidak hanya datang tepat waktu, tapi malah di awal waktu. Sahabatku ini benar-benar bisa menghargai waktu, tidak hanya bisa commit waktu kepada Alloh, tapi juga manusia.
”Ntar perjalanan ke Tanjungsari berapa jam, Dul?” tanya Yamin yang menunggu sambil membaca koran Republika minggu beberapa hari yang lalu.
”Kalau lancar, biasanya dua jam” jawab Abdullah yang sibuk merapikan kado yang sudah dibungkusnya.
”Shalat dulu ya, Dul”, Yamin beranjak berdiri sambil melipat dan merapikan di tumpukan almari.
”Shalat Dhuha, ya.. ” Abdullah berdecak kagum sambil mengucapkan subhanallah dalam hati akan ketaatan sahabatnya yang pembawaannya sederhana ini.
Pukul delapan teng, personel yang sudah dihubungi Abdullah tadi malam sudah siap. Kado kumasukkan di bagasi depan, sedangkan dua ransel milik Yamin dan Salman kususun di  jok belakang. agar mereka.
”Isinya apa?” tanya Abdullah.
”Perbekalan” kata Salman, sang petualang.
”Kalo ini?” tanya Abdullah lagi mengangkat tas milik Yamin.
”Minuman! Taruh saja di dalam, siapa tahu nanti ada yang kehausan” jawab Yamin.
”Hebat kalian ini, tidak diminta sudah tahu apa yang mesti disiapkan”, komentar Abdullah, menstarter mobilnya, memastikan safety belt dirinya  dan Sidiq yang duduk di sebelah. Mereka sambil mengucapkan bismillah.
”Jadi kemana kita, nih Dul?” komentar Sidiq yang duduk di jok depan yang menjadi navigator sang pembalap. Mobil VW yang dikemudikan Abdullah melaju di jalan kota Bandung pintu tol agar waktu perjalanan dipersingkat. Setiba di pintu tol buah batu segera pedal gas pun makin ditancap.
”Jadi loe belum nembak, Dul?” kata Salman di tengah cerita Abdullah yang sudah melewati marka tol di km 149.
”Belum...” jawab Abdullah singkat.
”Dia orang mana Dul?” sambungnya.
”Sumedang” jawabnya lagi singkat.
”Aku bingung deh.. Abdullah lahir di Jawa, besar di Kalimantan, trus nyari orang Sumedang. Kok bisa muter-muter kayak gitu?” tanya Salman penasaran.
Abdullah kini hanya tersenyum, karena sambil menyetir Sidiq bisa maklum.
”Min, gimana menurut kamu dari sudut pandang Islam?” tanya Andre yang sudah mulai mengenal karakter kawan barunya. Ia ingin beberapa jawaban hasil diskusi mereka di tengah obrolan.
”Kita harus paham benar maksud dan tujuan Alloh swt menciptakan manusia. Rambu-rambunya sudah jelas, dan wajib kita ikuti, kalau tidak kita akan tersesat.
”Emang kisah 25 nabi dan rasul itu, cuman dongeng? atau cerita yang dibuat kayak di sinetron?”
”Kisah itu nyata, bukan rekayasa manusia dan wajib kita yakini. Banyak hikmah yang bisa kita pelajari dari kisah 25 nabi dan rasul” Yamin membuka percakapannya.
”Oo begitu ..” kini Sidiq yang menjawab singkat.
”Diturunkannya manusia di muka bumi ini bersama pasangannya Hawa, pasti ada hikmah tersendiri[1], kan?” Akan banyak manusia di muka bumi ini yang lahir beraneka ragam. Dan Alloh swt menciptakan manusia dengan cara bersuku-suku supaya kita ini dapat saling kenal-mengenal[2]”, sambung Yamin.
”Umat muslim di dunia itu, kan hakekatnya bersaudara, lalu tadi loe bilang ada rambu-rambunya. Bagaimana agar kita bisa jadi lebih dekat? Seperti ini nih”, kini Salman yang angkat bicara, sambil menepok bahu Abdullah yang duduk di kursi kemudi di depannya.
”Saya pernah dengar tausyiah ustadz Arifin Ilham..” Yamin kini terdiam, sambil mengingat-ingat apa yang pernah disampaikan oleh guru ngajinya.
”Wah, berat nih obrolannya mulai bawa-bawa ustadz” potong Sidiq.
Dan Yamin menjelaskan pesan di perjalanan itu dengan bijak, ”Buah bersaudara karena iman itu ada dua belas....
Pertama, Taa’ruf atau saling mengenal,
Kedua, Tahaabub atau saling cinta,
Ketiga, Tafaahum atau saling memahami,
Keempat, Tanaashuh atau saling menasehati[3],
Kelima,Takaarum atau saling menghormati[4],
Keenam,Taawun atau saling tolong-menolong[5]
Ketujuh,Tahaadu atau saling memberi hadiah
Kedelapan,Tadaau atau saling mendoakan
Kesembilan, Tahafudz atau saling menjaga kehormatan saudara/i, bukan saling menjatuhkan,
Kesepuluh, Tazaawur atau saling mengunjugi,
Kesebelas,Tasholuh atau saling mendamaikan[6],
Keduabelas Taafu atau saling memaafkan”.
Abdullah, Andre, Sidiq dan Salman hanya terdiam. Mereka tertegun dengan pesan-pesan yang disampaikan Yamin di dalam perjalanan.
”Lima menit lagi masuk Dzuhur” kali ini Andre yang berkomentar.
”Masih jauh, ngga Dul?” Yamin menengok ke kanan dan kiri mencari mesjid di tengah perjalanan yang berkelok-kelok.
”Ya, paling sepuluh menit lagi. Di depan kita sebentar lagi ada mesjid Ciromed. Kalau mau kita bisa istirahat atau shalat dulu. Gimana?” Abdullah memberikan opsi. Tiga temannya tampak mulai berkipas-kipas, sempat ia lirik di spion tengah dalam mobil kodok.
”Baiknya shalat dulu saja” jawab Yamin.
”Ya, kita shalat dulu saja” timpal Sidiq, ”Shalat kan nomor dua”.
Wajah Yamin langsung menengok Sidiq, ”Kok dua?”
Andre sudah hafal akan tingkah polahnya Sidiq yang sering bercanda. Ia hanya tersenyum. Menebak-nebak apa gerangan jawaban yang akan dilontarkan Sidiq.
”Pertama, itu mengucapkan dua kalimat syahadat. Kedua, menunaikan shalat lima waktu” jawab Sidiq sambil sambil tersenyum.
Kontan saja mereka semua tertawa, mendengar Sidiq yang suka bercanda. Setiba di depan jalan raya sudah terlihat mesjid Ciromed yang berdiri kokoh di atas bukit. Sempat mereka beradu pendapat, memilih jalan pintu masuk utamanya. Ada pintu yang ke arah pom bensin dan satu jalan lain yang naik menuju mesjid. Karena salah jalan, mereka masuk di barisan mobil yang sedang antre mengisi bahan bakar. Begitu mau mundur, Tiga mobil di belakangnya masuk persis menghadang dari belakang mobil Abdullah. Mobil terjepit. Abdullah tak berkutik, hanya bisa bersabar menunggu. Beberapa kali ia tengok dua angka digital waktu yang ada di mobilnya. menit yang terus beranjak naik. Astagfirullah, mereka terlambat ke mesjid. Takbir dari sang imam mulai terdengar. Namun karena kelelahan mereka keluar dengan badan lunglai. Setelah agak segar mereka serempak mengambil air wudhu.
Sebelum masuk mesjid Yamin merapikan sandal-sandal yang tergeletak di tangga, sebelum pintu masuk mesjid. Abdullah memperhatikan tangan Yamin dengan lihai menyusun sandal-sandal itu. Ia membalikkan sandal dengan menghadapkannya ke arah luar, sehingga memudahkan jika sahabatnya nanti meninggalkan mesjid.
Di dalam mesjid, mereka menuju jamaah yang sudah duduk di tahiyad akhir. Glek! Terlambat, batin Yamin dalam hati. Ada rasa sesal. Namun ia berharap Salman, Sidiq, Abdullah dan Andre mengambil posisi yang saling berjauhan. Bisa berkumpul.
”Sepertinya mereka shalat sunat dulu, sebelum melakukan shalat fardhu” bisik Yamin dalam hati.
Sambil menunggu, ia lafadzkan asma Alloh dalam hati. Tak lama, teman-temannya keluar, satu per satu. Tandanya sudah menunaikan shalat fardhu. Tinggal Abdullah yang masih tetap di dalam mesjid berlantai kayu.
”Sst!!” Abdullah memberi kode mengajak shalat.
Astagfirullah, kenapa mereka tidak shalat jamaah? Hilang keutamaannya” bisik Yamin pada Abdullah.
”Sudahlah.. kita bahas nanti. Sekarang aku mau shalat lebih khusyuk..” jawab Abdullah. Yamin melayangkan kedua jempolnya ke arah Abdullah. ”TOP!”.
Selesai shalat, merekapun berdoa. Abdullah beranjak pergi. Sedangkan Yamin masih bertahan melakukan shalat sunat lagi. Abdullah tertegun dengan apa yang dilakukan Yamin, bisa istiqomah menjalankan ibadah.
Tak berapa lama, Yamin tampak berjalan menyusul Abdullah yang masih berdiri menatap langit di depan pintu mesjid, yang memegang ponselnya.
”Tadi kau sempat kecewa dengan teman-temanku ya, Min?” Abdullah menghentikan ketikan sms di ponselnya, menatap Yamin.
”Jangan kau sandarkan dirimu pada dunia, karena ia tidak akan pernah mendatangkan ketenangan dalam hati kita. Hanya Allohlah yang kuasa memberikan ketentraman”.
”Itu Benar, Min!”
”Coba kau perhatikan, kejadian apa yang baru menimpa kita?”
”Telat shalat, padahal kita sudah di depan mesjid.. Ee malah kehalang mobil beberapa menit”
”Kapanpun dan dimanapun ada kesempatan untuk kita berbuat kebaikan. Selama di jalan, aku banyak melihat kesempatan itu. Tapi kau lewatkan. Tak heran, ketika kau jauhi kebaikan itu, keburukan yang akan mengundangmu, tinggal menunggu waktu..”
Ucapan Yamin meluluhkan hati Abdullah, kata-katanya dalam,  membuat ia semakin merenungkan diri dan teman-temannya.
”Aku juga prihatin Min, kenapa kita tadi tidak shalat jamaah? Padahal ada kesempatan untuk kita mendapatkan bonus kebaikan itu”
”YAP! Kita semua saudara, harus ada yang mengingatkan. Hanya saja aku belum menemukan bagaimana cara menyampaikannya dengan hikmah[7]
”... dengan hikmah? Apa itu hikmah?”
”Hikmah adalah perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil” jelas Yamin.
Saat Yamin menuju arah sandal, selembar rupiah berwarna hijau sebesar dua puluh ribu rupiah ia ambil dari dompetnya. Yamin menyedekahkan untuk kotak amal yang ada di depan pintu keluar. Abdullah bangga melihat sahabatnya, tidak hanya taat, tapi juga peduli kepada sesamanya. Abdullah mengiyakan dengan mengangguk-anggukan kepalanya dengan pelan.
”Yuk, sambil jalan, yang lain pasti sudah menunggu” celetuk Yamin.


[1] QS. Al-Baqarah [2] :30
[2] QS. Al-Hujurat [49]: 13
[3] QS. Al Balad [90] :17
[4] QS. Al Maidah [5]: 2
[5] QS. At Taubah [9]: 71
[6] QS. Al Hujurat [49]: 10
[7] QS An Nahl [16] : 125