Pagi-pagi
Andre sudah berdiskusi di kamar Abdullah. Di temani cahaya matahari yang masih
terasa sejuk. Kadang angin yang berhembus dingin ke kulit tubuh ini serasa
menusuk. Abdullah membentenginya dengan jaket kuning tebal. Katanya, agar perut
yang keroncongan yang nanti menghampiri bisa dihindari, juga tidak cepat lapar.
Bang
Adi, penjual bubur di gang Cikutra sudah mulai mangkal pagi itu di depan kost
Abdullah dan Andre. Suara ’teng-teng-teng’ mulai digelar di sepanjang gang.
Gemanya terdengar dari satu ujung gang ke ujung gang lainnya.
”Wah,
itu bubur Bang Adi. Hebat benar Bang Adi ini, mengambil posisi strategis. Kalau
diukur dari jalan masuk gang ke ujung gang lainnya, jatuhnya persis di dekat
kost-an kita. Pantas saja dia sering mangkal di sini, ya?” ujar Andre pada
Abdullah yang sedang asik di depan komputernya. Dia sedang menyelesaikan satu
pesanan website dari pelanggan barunya.
”Kalau
jualan kita harus pinter-pinter ikhtiar. Bunyian mangkok itu sudah khas-nya
bang Adi. Nah, itu kalau jualan di dunia nyata. Kalau di dunia maya, ikhtiarnya
kita bisa pake website” balas Abdullah.
”Kau
mau sarapan Bubur?”
”Boleh.
Maaf Dre, bisa minta tolong pesankan? Saya ngga pake kacang.. ”
”Ok,
bentar ya..aku pesankan”
”Bang
Adi, pesan bubur dua. Satu pake kacang, satu lagi ngga?”
”Siap!
Satu lagi buat siapa?” tanya bang Adi.
”Buat
Abdullah”
”Gimana
kuliah Abdullah? Rasa-rasanya dia jarang kelihatan di kampus”
”Lho,
kok bang Adi tahu?”
”Iye,
kan abang sering mangkal di pojok jalan pengkolan kampus, pas pintu keluar”.
”Jadi
abang hapal, siapa aja yang rajin ke kampus dan ngga di gang ini”.
”Iya
Bang, kuliahnya Abdullah ngga mulus, setelah dia kenal satu hobi barunya. Dia
keasyikan”.
”Abdullah,
makan nih.. buburmu sudah siap” Andre meletakkan bubur yang masih hangat itu di
samping Abdullah.
”Terima
kasih, Dre” kata Abdullah singkat. Tangannya masih lincah menari di atas
keyboard mengetikkan kode HTML,
kadang tangan kanannya menggerak-gerakkan mouse.
Sembari
menghabiskan bubur ayam yang dipesan, Andre mendapat lanjutan cerita kuliahnya
Abdullah kenapa tidak mulus. Abdullah menjelaskan pada saat ia masih aktif
kuliah, menemukan hobi barunya sebagai seorang webdesigner. Awalnya, Ferry
yang lebih dulu jago mendesain web mengajarinya. Abdullah merasa beruntung,
karena pada saat itu, internet masih menjadi barang langka. Jadi, sangat jarang
orang yang mahir dalam pengoperasiannya. Setelah mendapat pelatihan singkat
dari temannya itu, Abdullah menjadi betah berlama-lama di depan komputer. Ia mencoba
membuat website ini dan itu. Ditambah lagi, Abdullah mendapat tawaran menjadi
asisten laboratorium komputer di kampusnya. Otomatis waktunya banyak
dihabiskannya pula di sana.
Berkat
hobi barunya ini, Abdullah juga mendapat beberapa pesanan membuat website, baik
dari perorangan maupun dari instansi. Hal ini menyebabkan kuliah Abdullah
menjadi terbengkalai. Bahkan Abdullah secara sukarela menjadi webdesigner dari
sebuah band favoritnya yang terkenal di negeri ini. Untuk
mendapatkan informasi dan foto-foto terbaru dari band ini, Abdullah seringkali
meninggalkan kuliah dan ikut tour bersama band tersebut. Kemudian, Abdullah
memutuskan cuti dari kuliahnya dan bekerja di salah satu perusahaan penyedia
layanan internet di Jakarta.
Ponsel
Abdullah berbunyi. Dari nama yang tampil di layar, tertulis F.SBY.Amin. Nama
yang dia buat sengaja di ponselnya dengan klasifikasi tertentu. F menunjukkan
singkatan ‘family’ sedangkan SBY kependekan dari Surabaya. Kalau daftar nama di
ponsel Abdullah didownload dan dicetak, semua klasifikasi dari keluaga dekat,
ia beri kode diawali A. Jadi ada nama A.Mama, A.Abah, A.Daud dan A.Sholeh.
Sedangkan teman dekatnya ia beri kode B.SD, untuk kode teman SD, B.SMP untuk
kode teman SMP diteruskan SMA dan terakhir KUL, untuk kuliah. Susunannya rapi.
Sehingga memudahkan dan efektif jika ia ingin sms ke banyak tujuan.
Abdullah
membayangkan wajah yang berbicara dari ujung telpon sana, terdengar suara pria
menyapa, “Assalamulaikum, Abdullah..”
“Waalaikum
salam om Amin. Kapan mau ke Bandung?” jawabnya.
“Insya
Allah besok, Dul! Pakai kereta Mutiara Selatan”
“Oya,
besok Insya Allah saya jemput ya.. jam berapa om jadwal tibanya? ”
“Insya Allah jam 06.15 WIB,
Dul”.
“Iya
Om, makasih infonya ya Om. Nanti kalau sudah sampai keluarnya di pintu kanan ya
Om. Saya nunggu di sisi Kanan.” Jelas Abdullah mengarahkan.
“Ya
Dul, Assalamualaikum” tutup om Amin.
“Wassalamualaikum
warahmatullahi wabarakatuh” Abdullah menjawab sambil menutup telepon. Di daftar
kontak ia pilih sederetan kode yang berawalan A, beberapa nama dikirimkannya
sebuah sms.
“Sip! aku sudah kasih kabar..”
“Kabar
apa?” tanya Andre.
“Ooh,
ada om Amin dari Surabaya. Dari sepupu abah. Biar yang lain tahu kukirim juga
ke orang tua dan adik-adikku”
“Kok
bisa cepet ngirimnya?”
“Gini Dre,
untuk mempercepat, biasanya kubuat daftar nama dengan didahului nama grupnya”
kemudian Abdullah menjelaskan detil caranya. Dengan cara ini akan selain memudahkan kita juga
mengirim sms, memudahkan orang lain juga menerima sms dengan cepat.
“Kan bisa dibuat grup?”
“Itu juga bisa... tapi lebih
sering aku terlewat bikin di grupnya.
Dan cara ini yang lebih praktis kalau kita juga ingin mencari nama-nama satu
grup di ponsel kita ”, jelas Abdullah.
Esoknya setelah melaksanakan
shalat subuh, Abdullah berangkat menuju stasiun Hall dengan motornya. Ia
memutuskan menjemput Om Amin yand datang dengan kereta dari surabaya. Sampai di parkiran, terdengar
tausyiah ustadz yang biasa mengisi di MQ
FM. Arah suara itu rupanya dekat dengan tukang parkir yang menjaga pintu masuk
tadi. Kurang tiga meter dari situ ada musholla. Ada teras di depannya.
“Aha, aku bisa duduk di depannya” bisik Abdullah. Diam-diam
Abdullah mencuri suara, menimba ilmu sambil duduk menunggu. Benar kata Yamin,
kalau pagi hari kita bisa memilih santapan yang nyaman untuk ruhani, hati ini
bisa jadi berbeda dampaknya. Ia membenarkan pendapat sahabatnya, bukan acara
berita yang berisi berita kecelakaan, berita pencurian atau berita yang tidak
membahagiakan hati ini yang mestinya disampaikan. Tapi berita-berita yang dapat
membangkitkan semangat atau membangkitkan prestasi. Isi tausyiah sudah ditutup
dengan doa, artinya durasi acara ini hampir habis. Selanjutnya pasti diisi
berita, jadwalnya jam enam pagi. Kereta Mutiara Selatan dari Surabaya dijadwalkan datang sebentar lagi.
Tak lama, kereta yang
ditunggu tiba. Penumpang tumpah keluar dari kedua pintu di ujung gerbong.
Sengaja aku mengambil posisi lebih tinggi dan sedikit jauh. Agar pandangan mata
dapat melihat bebas memantau gerbong berhenti.
Beraneka macam tingkah polah
penumpang, ada yang jalan santai sambil melambai, ada yang menelpon, ada yang
berlari ke arah toilet. Mungkin ia kebelet sambil menenteng
barang.
Om Amin
sangat mudah kukenali. Karena ia mengenakan peci putih favoritnya, seperti pak
Haji. Aku bisa mengenalinya tapi Om Amin terlihat masih mencari-cari.
“Assalamualaikum Pak Haji”
celetuk Abdullah.
“Waalaikum salam, Abdullah
ya?”
“Iya Om”
“Alhamdulillah. Wah, sudah besar kau sekarang! Om tahu nomor kamu dari abah di kalimantan”
jelas Om Amin.
“Iya
Om, Mama dan Abah juga cerita tadi malam”.
“Gimana
kabar tante di Surabaya?”
“Alhamdulillah
sehat”
“Sini
Om, saya bawakan tasnya” dengan gesit dan sigap Abdullah membawakan tas
tentengan om Amin.
Obrolan
berlanjut sampai parkiran, juga selama di perjalanan.
“Besok
pagi om acara bebas” om Amin menjelaskan.
“Kita
ke DT mau ngga om?” ajak Abdullah semangat.
“DT apa
itu?”, tanya om Amin sambil mengangkat secangkir teh, mengucap basmallah dan
meminumnya
“Daarut
Tauhiid. Jadi kita shalat subuh di sana, setelah itu kita bisa mengikuti tausyiah”
“Boleh!”
jawab om Amin singkat, kemudian ia meneruskan
minum seteguk lagi teh hangat yang disediakan Abdullah.
Waktu
subuh yang dijadwalkan tiba. Mereka bersiap mengikuti tausyiah di pesantren DT
yang letaknya di Gerlong.
“Gerlong itu daerah mana,
Dul. Om masih asing dengan kota Bandung”.
“Gerlong itu sebenarnya
singkatan, om, geger kalong” Abdullah
menjelaskan sambil menahan dingin pagi yang menerpa di wajahnya.
“Untung
om pake jaket tebal dari kamu. Padahal om tadi sempat menolak ngga mau. Om
pikir dinginnya biasa saja” suara om Amin datang dari belakang.
“Kalau
kita ngga berangkat pagi, bisa ngga
dapat tempat” karena banyak jamaah yang silaturahim ke pesantren ini.
Setiba
di depan mesjid DT, benar saja dugaan Abdullah. Lima belas menit sebelum masuk
subuh, sudah banyak jamaah yang memadati jalan di depan mesjid itu. Sandal
kulepas dan kutinggalkan di teras. Beruntung Abdullah dan om Amin sudah membawa
wudhu sejak berangkat dari rumah.
Sungguh mulia pesan sang Nabi SAW yang telah menyampaikan kemuliaan untuk
berwudhu sebelum berangkat ke mesjid. Mereka tidak perlu mengantre di
mesjid.Mereka berupaya menjumpai keutamaan shalat, yaitu shaf pertama dan
keutamaan sebelum azan dikumandangkan.
Alhamdulillah, mereka mendapati
kelapangan dalam memilih shaf pertama. Masih banyak kosong. Anehnya, shaf yang
dibelakangnya malah terisi. Malah yang banyak terisi shaf di bagian belakang.
Padahal jika mereka mengetahui riwayat dari Sang Nabi SAW, banyak keutamaannya
untuk mengisi shaf terdepan.
Abdullah
sempat memperhatikan seragam dan name tag
diantara para jemaah yang baru datang. Ada yang dari Tasik, Cirebon,
Semarang, Yogya, Surabaya dan Malang. Subhanallah,
dari berbagai kota mereka kumpul di sini. Aku yang satu kota, ke mesjid ini
baru pertama kali.
Setelah
shalat subuh dijalankan, Aa Gym pendiri pesantren di DT ini, naik mimbar. Audio
di mesjid memperdengarkan jingle dari
stasiun radio yang tidak asing kudengar. Rupanya ada siaran radio langsung yang
merelay tausyiah Aa ke stasiun radio yang ada di kota di Indonesia, radio manca
negara dan streaming yang dapat diakses melalui radio internet.
Om Amin
kagum dengan sistem yang dibuat oleh pesantren ini dibangun dengan sedemikian
rupa untuk kemaslahatan umat. Sebelum acara tausyiah di tutup, Aa sempat berpesan
untuk tamu yang sudah datang ke mesjid silakan melanjutkan acara kunjungan ke
rumah Aa yang ada di belakang mesjid.
“Om,
ikut saya, yuk!” bergegas Abdullah dan om Amin berdiri.
Sampai
di teras depan, kuperhatikan sekeliling mesjid. Cahaya matahari sudah menerangi
lingkungan DT. Jamaah masih banyak, bahkan lebih padat. Ada yang duduk sambil
beristirahat, ada yang terus beribadat, mengobrol dan berjabat. Pagi itu ramai,
mungkin karena waktu bubarnya bersamaan dengan penduduk di sekitar yang
berangkat ke kantor atau sekolah, sehingga membuat jalan penuh.
Abdullah
menjelaskan beberapa tempat yang ada di lingkungan DT. Setiba di dekat rumah
Aa, Abdullah berkomentar.
“Nah,
ini om rumah Aa yang sederhana, tapi asetnya bertebaran dimana-mana”, canda
Abdullah. Om Amin tersenyum mendengarnya.
Sampai
di samping rumah Aa, sudah disediakan karpet merah dan slide proyektor. Tak
berapa lama, area itu sudah padat. Abdullah dan om Amin kali ini duduk di
belakang.
Aa Gym
menyambutnya, “Wah, dari mana saja ini tamunya?”
“Ada
yang dari Garut?” tanya Aa. Sebagian jamaah yang berseragam mengangkat tangan.
Aa melambaikan tangan sambil tersenyum sambil bertanya lagi, “Surabaya?”.
Abdullah
dan om Amin spontan mengangkat tangan.
“Kalimantan?”
tanya Aa lagi mengabsen satu per satu.
Abdullah juga heran, kenapa
semua berseragam? Jangan-jangan ini jamuan khusus untuk jamaah yang diundang. Astagfirullah, salah masuk! Batinnya.
Aa mungkin memperhatikan
kami berdua, karena kami tidak berseragam. Kemudian ia berkomentar lagi sambil
menatap kami, “Untuk sahabat Aa yang hadir dengan rombongannya, silakan
menikmati hidangan ala kadarnya. Sahabat Aa yang lain, jika ingin berfoto
bersama Aa, silakan ke area taman”.
Aku langsung berdiri diikuti
om Amin, kemudian menuju ke area taman. Abdullah baru sadar apa yang baru
dialaminya adalah salah masuk ke acara undangan Aa. Tapi Aa
dengan santun menyampaikan dan mengajak kami untuk foto bersama.