Pukul delapan kurang lima belas, Yamin sudah datang ke tempat Abdullah yang
tengah berhias. Rambut diaturnya, sedemikian rupa di depan cermin bening,
sampai-sampai jerawat Abdullah terlihat jelas.
Yamin memang sahabat yang bisa diandalkan. Ia
tidak hanya datang tepat waktu, tapi malah di awal waktu. Sahabatku ini
benar-benar bisa menghargai waktu, tidak hanya bisa commit waktu kepada Alloh, tapi juga manusia.
”Ntar perjalanan ke Tanjungsari berapa jam, Dul?”
tanya Yamin yang menunggu sambil membaca koran Republika minggu beberapa hari
yang lalu.
”Kalau lancar, biasanya dua jam” jawab Abdullah
yang sibuk merapikan kado yang sudah dibungkusnya.
”Shalat dulu ya, Dul”, Yamin beranjak berdiri
sambil melipat dan merapikan di tumpukan almari.
”Shalat Dhuha, ya.. ” Abdullah berdecak kagum
sambil mengucapkan subhanallah dalam
hati akan ketaatan sahabatnya yang pembawaannya sederhana ini.
Pukul delapan teng, personel yang sudah dihubungi
Abdullah tadi malam sudah siap. Kado kumasukkan di bagasi depan, sedangkan dua
ransel milik Yamin dan Salman kususun di
jok belakang. agar mereka.
”Isinya apa?” tanya Abdullah.
”Perbekalan” kata Salman, sang petualang.
”Kalo ini?” tanya Abdullah lagi mengangkat tas
milik Yamin.
”Minuman! Taruh saja di dalam, siapa tahu nanti
ada yang kehausan” jawab Yamin.
”Hebat kalian ini, tidak diminta sudah tahu apa
yang mesti disiapkan”, komentar Abdullah, menstarter mobilnya, memastikan safety belt dirinya dan Sidiq yang duduk di sebelah. Mereka
sambil mengucapkan bismillah.
”Jadi kemana kita, nih Dul?” komentar Sidiq yang
duduk di jok depan yang menjadi navigator sang pembalap. Mobil VW yang
dikemudikan Abdullah melaju di jalan kota Bandung pintu tol agar waktu
perjalanan dipersingkat. Setiba di pintu tol buah batu segera pedal gas pun
makin ditancap.
”Jadi loe
belum nembak, Dul?” kata Salman di tengah cerita Abdullah yang sudah melewati
marka tol di km 149.
”Belum...” jawab Abdullah singkat.
”Dia orang mana Dul?” sambungnya.
”Sumedang” jawabnya lagi singkat.
”Aku bingung deh.. Abdullah lahir di Jawa, besar
di Kalimantan, trus nyari orang Sumedang. Kok bisa muter-muter kayak gitu?”
tanya Salman penasaran.
Abdullah kini hanya tersenyum, karena sambil
menyetir Sidiq bisa maklum.
”Min, gimana menurut kamu dari sudut pandang
Islam?” tanya Andre yang sudah mulai mengenal karakter kawan barunya. Ia ingin
beberapa jawaban hasil diskusi mereka di tengah obrolan.
”Kita harus paham benar maksud dan tujuan Alloh
swt menciptakan manusia. Rambu-rambunya sudah jelas, dan wajib kita ikuti,
kalau tidak kita akan tersesat.
”Emang kisah 25 nabi dan rasul itu, cuman dongeng?
atau cerita yang dibuat kayak di sinetron?”
”Kisah itu nyata, bukan rekayasa manusia dan wajib
kita yakini. Banyak hikmah yang bisa kita pelajari dari kisah 25 nabi dan
rasul” Yamin membuka percakapannya.
”Oo begitu ..” kini Sidiq yang menjawab singkat.
”Diturunkannya manusia di muka bumi ini bersama pasangannya
Hawa, pasti ada hikmah tersendiri[1],
kan?” Akan banyak manusia di muka
bumi ini yang lahir beraneka ragam. Dan Alloh swt menciptakan
manusia dengan cara bersuku-suku supaya kita ini dapat saling kenal-mengenal[2]”, sambung Yamin.
”Umat muslim di dunia itu, kan hakekatnya bersaudara, lalu tadi loe bilang ada rambu-rambunya.
Bagaimana agar kita bisa jadi lebih dekat? Seperti ini nih”, kini Salman yang
angkat bicara, sambil menepok bahu Abdullah yang duduk di kursi kemudi di
depannya.
”Saya pernah dengar tausyiah ustadz Arifin
Ilham..” Yamin kini terdiam, sambil mengingat-ingat apa yang pernah disampaikan
oleh guru ngajinya.
”Wah, berat nih obrolannya mulai bawa-bawa ustadz”
potong Sidiq.
Dan Yamin menjelaskan pesan di perjalanan itu dengan bijak, ”Buah bersaudara karena iman itu ada dua belas....
Pertama, Taa’ruf atau saling mengenal,
Kedua, Tahaabub atau saling cinta,
Ketiga, Tafaahum atau saling memahami,
Keempat, Tanaashuh atau saling menasehati[3],
Kelima,Takaarum atau saling menghormati[4],
Keenam,Taawun atau saling tolong-menolong[5]
Ketujuh,Tahaadu atau saling memberi hadiah
Kedelapan,Tadaau atau saling mendoakan
Kesembilan, Tahafudz atau saling menjaga kehormatan
saudara/i, bukan saling menjatuhkan,
Kesepuluh, Tazaawur atau saling
mengunjugi,
Kesebelas,Tasholuh atau saling mendamaikan[6],
Keduabelas Taafu atau saling memaafkan”.
Abdullah, Andre, Sidiq dan Salman hanya terdiam. Mereka tertegun dengan pesan-pesan yang disampaikan Yamin di dalam perjalanan.
”Lima menit lagi masuk Dzuhur” kali ini Andre yang
berkomentar.
”Masih jauh, ngga Dul?” Yamin menengok ke kanan
dan kiri mencari mesjid di tengah perjalanan yang berkelok-kelok.
”Ya, paling sepuluh menit lagi. Di depan kita
sebentar lagi ada mesjid Ciromed. Kalau mau kita bisa istirahat atau shalat
dulu. Gimana?” Abdullah memberikan opsi. Tiga temannya tampak mulai
berkipas-kipas, sempat ia lirik di spion tengah dalam mobil kodok.
”Baiknya shalat dulu saja” jawab Yamin.
”Ya, kita shalat dulu saja” timpal Sidiq, ”Shalat kan nomor dua”.
Wajah Yamin langsung menengok Sidiq, ”Kok dua?”
Andre sudah hafal akan tingkah polahnya Sidiq yang
sering bercanda. Ia hanya tersenyum. Menebak-nebak apa gerangan jawaban yang
akan dilontarkan Sidiq.
”Pertama, itu mengucapkan dua kalimat syahadat.
Kedua, menunaikan shalat lima waktu” jawab Sidiq sambil sambil tersenyum.
Kontan saja mereka semua tertawa, mendengar Sidiq
yang suka bercanda. Setiba di depan jalan raya sudah terlihat mesjid Ciromed
yang berdiri kokoh di atas bukit. Sempat mereka beradu pendapat, memilih jalan
pintu masuk utamanya. Ada pintu yang ke arah pom bensin dan satu jalan lain
yang naik menuju mesjid. Karena salah jalan, mereka masuk di barisan mobil yang
sedang antre mengisi bahan bakar. Begitu mau mundur, Tiga mobil di belakangnya
masuk persis menghadang dari belakang mobil Abdullah. Mobil terjepit. Abdullah
tak berkutik, hanya bisa bersabar menunggu. Beberapa kali ia tengok dua angka
digital waktu yang ada di mobilnya. menit yang terus beranjak naik. Astagfirullah, mereka terlambat ke
mesjid. Takbir dari sang imam mulai terdengar. Namun karena kelelahan mereka
keluar dengan badan lunglai. Setelah agak segar mereka serempak mengambil air
wudhu.
Sebelum masuk mesjid Yamin merapikan sandal-sandal
yang tergeletak di tangga, sebelum pintu masuk mesjid. Abdullah
memperhatikan tangan Yamin dengan lihai menyusun sandal-sandal itu. Ia
membalikkan sandal dengan menghadapkannya ke arah luar, sehingga memudahkan
jika sahabatnya nanti meninggalkan mesjid.
Di dalam mesjid, mereka menuju jamaah yang sudah
duduk di tahiyad akhir. Glek!
Terlambat, batin Yamin dalam hati. Ada rasa sesal. Namun ia berharap Salman,
Sidiq, Abdullah dan Andre mengambil posisi yang saling berjauhan. Bisa
berkumpul.
”Sepertinya mereka shalat sunat dulu, sebelum
melakukan shalat fardhu” bisik Yamin dalam hati.
Sambil menunggu, ia lafadzkan asma Alloh dalam
hati. Tak lama, teman-temannya keluar, satu per satu. Tandanya sudah menunaikan
shalat fardhu. Tinggal Abdullah yang masih tetap di dalam mesjid berlantai
kayu.
”Sst!!” Abdullah memberi kode mengajak shalat.
”Astagfirullah,
kenapa mereka tidak shalat jamaah? Hilang keutamaannya” bisik Yamin pada
Abdullah.
”Sudahlah.. kita bahas nanti. Sekarang aku mau
shalat lebih khusyuk..” jawab Abdullah. Yamin melayangkan kedua jempolnya ke
arah Abdullah. ”TOP!”.
Selesai shalat, merekapun berdoa. Abdullah
beranjak pergi. Sedangkan Yamin masih bertahan melakukan shalat sunat lagi.
Abdullah tertegun dengan apa yang dilakukan Yamin, bisa istiqomah menjalankan
ibadah.
Tak berapa lama, Yamin tampak berjalan menyusul
Abdullah yang masih berdiri menatap langit di depan pintu mesjid, yang memegang
ponselnya.
”Tadi kau sempat kecewa dengan teman-temanku ya,
Min?” Abdullah menghentikan ketikan sms di ponselnya, menatap Yamin.
”Jangan kau sandarkan dirimu pada dunia, karena ia
tidak akan pernah mendatangkan ketenangan dalam hati kita. Hanya Allohlah yang
kuasa memberikan ketentraman”.
”Itu Benar, Min!”
”Coba kau perhatikan, kejadian apa yang baru
menimpa kita?”
”Telat shalat, padahal kita sudah di depan
mesjid.. Ee malah kehalang mobil beberapa menit”
”Kapanpun dan dimanapun ada kesempatan untuk kita
berbuat kebaikan. Selama di jalan, aku banyak melihat kesempatan itu. Tapi kau
lewatkan. Tak heran, ketika kau jauhi kebaikan itu, keburukan yang akan
mengundangmu, tinggal menunggu waktu..”
Ucapan Yamin meluluhkan hati Abdullah,
kata-katanya dalam, membuat ia semakin
merenungkan diri dan teman-temannya.
”Aku juga prihatin Min, kenapa kita tadi tidak
shalat jamaah? Padahal ada kesempatan untuk kita mendapatkan bonus kebaikan
itu”
”YAP! Kita semua saudara, harus ada yang
mengingatkan. Hanya saja aku belum menemukan bagaimana cara menyampaikannya
dengan hikmah[7]”
”... dengan hikmah? Apa itu hikmah?”
”Hikmah adalah perkataan yang tegas dan benar yang
dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil” jelas Yamin.
Saat Yamin menuju arah sandal, selembar rupiah
berwarna hijau sebesar dua puluh ribu rupiah ia ambil dari dompetnya. Yamin
menyedekahkan untuk kotak amal yang ada di depan pintu keluar. Abdullah bangga
melihat sahabatnya, tidak hanya taat, tapi juga peduli kepada sesamanya.
Abdullah mengiyakan dengan mengangguk-anggukan kepalanya dengan pelan.
”Yuk, sambil jalan, yang lain pasti sudah menunggu” celetuk Yamin.
No comments:
Post a Comment