Friday, December 4, 2015

Pesan di Perjalanan



Pukul delapan kurang lima belas, Yamin sudah datang ke tempat Abdullah yang tengah berhias. Rambut diaturnya, sedemikian rupa di depan cermin bening, sampai-sampai jerawat Abdullah terlihat jelas.
Yamin memang sahabat yang bisa diandalkan. Ia tidak hanya datang tepat waktu, tapi malah di awal waktu. Sahabatku ini benar-benar bisa menghargai waktu, tidak hanya bisa commit waktu kepada Alloh, tapi juga manusia.
”Ntar perjalanan ke Tanjungsari berapa jam, Dul?” tanya Yamin yang menunggu sambil membaca koran Republika minggu beberapa hari yang lalu.
”Kalau lancar, biasanya dua jam” jawab Abdullah yang sibuk merapikan kado yang sudah dibungkusnya.
”Shalat dulu ya, Dul”, Yamin beranjak berdiri sambil melipat dan merapikan di tumpukan almari.
”Shalat Dhuha, ya.. ” Abdullah berdecak kagum sambil mengucapkan subhanallah dalam hati akan ketaatan sahabatnya yang pembawaannya sederhana ini.
Pukul delapan teng, personel yang sudah dihubungi Abdullah tadi malam sudah siap. Kado kumasukkan di bagasi depan, sedangkan dua ransel milik Yamin dan Salman kususun di  jok belakang. agar mereka.
”Isinya apa?” tanya Abdullah.
”Perbekalan” kata Salman, sang petualang.
”Kalo ini?” tanya Abdullah lagi mengangkat tas milik Yamin.
”Minuman! Taruh saja di dalam, siapa tahu nanti ada yang kehausan” jawab Yamin.
”Hebat kalian ini, tidak diminta sudah tahu apa yang mesti disiapkan”, komentar Abdullah, menstarter mobilnya, memastikan safety belt dirinya  dan Sidiq yang duduk di sebelah. Mereka sambil mengucapkan bismillah.
”Jadi kemana kita, nih Dul?” komentar Sidiq yang duduk di jok depan yang menjadi navigator sang pembalap. Mobil VW yang dikemudikan Abdullah melaju di jalan kota Bandung pintu tol agar waktu perjalanan dipersingkat. Setiba di pintu tol buah batu segera pedal gas pun makin ditancap.
”Jadi loe belum nembak, Dul?” kata Salman di tengah cerita Abdullah yang sudah melewati marka tol di km 149.
”Belum...” jawab Abdullah singkat.
”Dia orang mana Dul?” sambungnya.
”Sumedang” jawabnya lagi singkat.
”Aku bingung deh.. Abdullah lahir di Jawa, besar di Kalimantan, trus nyari orang Sumedang. Kok bisa muter-muter kayak gitu?” tanya Salman penasaran.
Abdullah kini hanya tersenyum, karena sambil menyetir Sidiq bisa maklum.
”Min, gimana menurut kamu dari sudut pandang Islam?” tanya Andre yang sudah mulai mengenal karakter kawan barunya. Ia ingin beberapa jawaban hasil diskusi mereka di tengah obrolan.
”Kita harus paham benar maksud dan tujuan Alloh swt menciptakan manusia. Rambu-rambunya sudah jelas, dan wajib kita ikuti, kalau tidak kita akan tersesat.
”Emang kisah 25 nabi dan rasul itu, cuman dongeng? atau cerita yang dibuat kayak di sinetron?”
”Kisah itu nyata, bukan rekayasa manusia dan wajib kita yakini. Banyak hikmah yang bisa kita pelajari dari kisah 25 nabi dan rasul” Yamin membuka percakapannya.
”Oo begitu ..” kini Sidiq yang menjawab singkat.
”Diturunkannya manusia di muka bumi ini bersama pasangannya Hawa, pasti ada hikmah tersendiri[1], kan?” Akan banyak manusia di muka bumi ini yang lahir beraneka ragam. Dan Alloh swt menciptakan manusia dengan cara bersuku-suku supaya kita ini dapat saling kenal-mengenal[2]”, sambung Yamin.
”Umat muslim di dunia itu, kan hakekatnya bersaudara, lalu tadi loe bilang ada rambu-rambunya. Bagaimana agar kita bisa jadi lebih dekat? Seperti ini nih”, kini Salman yang angkat bicara, sambil menepok bahu Abdullah yang duduk di kursi kemudi di depannya.
”Saya pernah dengar tausyiah ustadz Arifin Ilham..” Yamin kini terdiam, sambil mengingat-ingat apa yang pernah disampaikan oleh guru ngajinya.
”Wah, berat nih obrolannya mulai bawa-bawa ustadz” potong Sidiq.
Dan Yamin menjelaskan pesan di perjalanan itu dengan bijak, ”Buah bersaudara karena iman itu ada dua belas....
Pertama, Taa’ruf atau saling mengenal,
Kedua, Tahaabub atau saling cinta,
Ketiga, Tafaahum atau saling memahami,
Keempat, Tanaashuh atau saling menasehati[3],
Kelima,Takaarum atau saling menghormati[4],
Keenam,Taawun atau saling tolong-menolong[5]
Ketujuh,Tahaadu atau saling memberi hadiah
Kedelapan,Tadaau atau saling mendoakan
Kesembilan, Tahafudz atau saling menjaga kehormatan saudara/i, bukan saling menjatuhkan,
Kesepuluh, Tazaawur atau saling mengunjugi,
Kesebelas,Tasholuh atau saling mendamaikan[6],
Keduabelas Taafu atau saling memaafkan”.
Abdullah, Andre, Sidiq dan Salman hanya terdiam. Mereka tertegun dengan pesan-pesan yang disampaikan Yamin di dalam perjalanan.
”Lima menit lagi masuk Dzuhur” kali ini Andre yang berkomentar.
”Masih jauh, ngga Dul?” Yamin menengok ke kanan dan kiri mencari mesjid di tengah perjalanan yang berkelok-kelok.
”Ya, paling sepuluh menit lagi. Di depan kita sebentar lagi ada mesjid Ciromed. Kalau mau kita bisa istirahat atau shalat dulu. Gimana?” Abdullah memberikan opsi. Tiga temannya tampak mulai berkipas-kipas, sempat ia lirik di spion tengah dalam mobil kodok.
”Baiknya shalat dulu saja” jawab Yamin.
”Ya, kita shalat dulu saja” timpal Sidiq, ”Shalat kan nomor dua”.
Wajah Yamin langsung menengok Sidiq, ”Kok dua?”
Andre sudah hafal akan tingkah polahnya Sidiq yang sering bercanda. Ia hanya tersenyum. Menebak-nebak apa gerangan jawaban yang akan dilontarkan Sidiq.
”Pertama, itu mengucapkan dua kalimat syahadat. Kedua, menunaikan shalat lima waktu” jawab Sidiq sambil sambil tersenyum.
Kontan saja mereka semua tertawa, mendengar Sidiq yang suka bercanda. Setiba di depan jalan raya sudah terlihat mesjid Ciromed yang berdiri kokoh di atas bukit. Sempat mereka beradu pendapat, memilih jalan pintu masuk utamanya. Ada pintu yang ke arah pom bensin dan satu jalan lain yang naik menuju mesjid. Karena salah jalan, mereka masuk di barisan mobil yang sedang antre mengisi bahan bakar. Begitu mau mundur, Tiga mobil di belakangnya masuk persis menghadang dari belakang mobil Abdullah. Mobil terjepit. Abdullah tak berkutik, hanya bisa bersabar menunggu. Beberapa kali ia tengok dua angka digital waktu yang ada di mobilnya. menit yang terus beranjak naik. Astagfirullah, mereka terlambat ke mesjid. Takbir dari sang imam mulai terdengar. Namun karena kelelahan mereka keluar dengan badan lunglai. Setelah agak segar mereka serempak mengambil air wudhu.
Sebelum masuk mesjid Yamin merapikan sandal-sandal yang tergeletak di tangga, sebelum pintu masuk mesjid. Abdullah memperhatikan tangan Yamin dengan lihai menyusun sandal-sandal itu. Ia membalikkan sandal dengan menghadapkannya ke arah luar, sehingga memudahkan jika sahabatnya nanti meninggalkan mesjid.
Di dalam mesjid, mereka menuju jamaah yang sudah duduk di tahiyad akhir. Glek! Terlambat, batin Yamin dalam hati. Ada rasa sesal. Namun ia berharap Salman, Sidiq, Abdullah dan Andre mengambil posisi yang saling berjauhan. Bisa berkumpul.
”Sepertinya mereka shalat sunat dulu, sebelum melakukan shalat fardhu” bisik Yamin dalam hati.
Sambil menunggu, ia lafadzkan asma Alloh dalam hati. Tak lama, teman-temannya keluar, satu per satu. Tandanya sudah menunaikan shalat fardhu. Tinggal Abdullah yang masih tetap di dalam mesjid berlantai kayu.
”Sst!!” Abdullah memberi kode mengajak shalat.
Astagfirullah, kenapa mereka tidak shalat jamaah? Hilang keutamaannya” bisik Yamin pada Abdullah.
”Sudahlah.. kita bahas nanti. Sekarang aku mau shalat lebih khusyuk..” jawab Abdullah. Yamin melayangkan kedua jempolnya ke arah Abdullah. ”TOP!”.
Selesai shalat, merekapun berdoa. Abdullah beranjak pergi. Sedangkan Yamin masih bertahan melakukan shalat sunat lagi. Abdullah tertegun dengan apa yang dilakukan Yamin, bisa istiqomah menjalankan ibadah.
Tak berapa lama, Yamin tampak berjalan menyusul Abdullah yang masih berdiri menatap langit di depan pintu mesjid, yang memegang ponselnya.
”Tadi kau sempat kecewa dengan teman-temanku ya, Min?” Abdullah menghentikan ketikan sms di ponselnya, menatap Yamin.
”Jangan kau sandarkan dirimu pada dunia, karena ia tidak akan pernah mendatangkan ketenangan dalam hati kita. Hanya Allohlah yang kuasa memberikan ketentraman”.
”Itu Benar, Min!”
”Coba kau perhatikan, kejadian apa yang baru menimpa kita?”
”Telat shalat, padahal kita sudah di depan mesjid.. Ee malah kehalang mobil beberapa menit”
”Kapanpun dan dimanapun ada kesempatan untuk kita berbuat kebaikan. Selama di jalan, aku banyak melihat kesempatan itu. Tapi kau lewatkan. Tak heran, ketika kau jauhi kebaikan itu, keburukan yang akan mengundangmu, tinggal menunggu waktu..”
Ucapan Yamin meluluhkan hati Abdullah, kata-katanya dalam,  membuat ia semakin merenungkan diri dan teman-temannya.
”Aku juga prihatin Min, kenapa kita tadi tidak shalat jamaah? Padahal ada kesempatan untuk kita mendapatkan bonus kebaikan itu”
”YAP! Kita semua saudara, harus ada yang mengingatkan. Hanya saja aku belum menemukan bagaimana cara menyampaikannya dengan hikmah[7]
”... dengan hikmah? Apa itu hikmah?”
”Hikmah adalah perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil” jelas Yamin.
Saat Yamin menuju arah sandal, selembar rupiah berwarna hijau sebesar dua puluh ribu rupiah ia ambil dari dompetnya. Yamin menyedekahkan untuk kotak amal yang ada di depan pintu keluar. Abdullah bangga melihat sahabatnya, tidak hanya taat, tapi juga peduli kepada sesamanya. Abdullah mengiyakan dengan mengangguk-anggukan kepalanya dengan pelan.
”Yuk, sambil jalan, yang lain pasti sudah menunggu” celetuk Yamin.


[1] QS. Al-Baqarah [2] :30
[2] QS. Al-Hujurat [49]: 13
[3] QS. Al Balad [90] :17
[4] QS. Al Maidah [5]: 2
[5] QS. At Taubah [9]: 71
[6] QS. Al Hujurat [49]: 10
[7] QS An Nahl [16] : 125

No comments:

Post a Comment