Friday, December 4, 2015

Sang Pencuri



Hampir setahun perkenalanku dengan Raudhah, kulihat kalender tertuju satu tanggal bukan yang berwarna hitam atau merah. Tapi sebuah angka yang kulingkari sebagai tanda ulang tahunnya. Masih tiga hari lagi.
Sudah beberapa hari ini gadis manis itu tidak pernah lagi kutemui. Beberapa rencana kejutan mulai melintasi dalam pikiran berseliweran ke sana ke mari. Di hari ulang tahunnya, rupanya kado yang semestinya sudah ada, sampai hari ini belum juga kudapati. Yang terbingkai dalam hati hanya bayang wajah muslimah dengan wajahnya yang elok berjilbab merah.
Matahari mulai tergelincir, Abdullah berjalan menuju warung makan yang ada di ujung gang. Ia sempatkan menengok depan bangunan bertingkat, tempat kost Raudhah tinggal, masih di gang yang sama. Beberapa hari ini terlihat kosong dan hening, seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan. Makan rasanya tidak nyaman, karena rasa rindunya ingin berjumpa dengan wanita idaman. Beberapa suap nasi disantap, tapi bayangan Raudhah senantiasa menghantui pikirannya dan kunyahannya menjadi berhenti, batal dilahap.
"Lagi apa, mas?", tanya Andre mengagetkanku di depan
pintu. Andre adalah teman satu kostku di Bandung, tetangga sebelah kamarku asal Medan. Postur tubuhnya besar, rambutnya keriting dan orangnya senang menghibur. Seperti balon yang pecah, wajah Raudhah sirna dalam bayangan bersama suara  ada di depan pintu Abdullah yang sedikit terbuka. Abdullah sedikit tersentak.
“Assalamualaikum Mas, awan lamunan mas kelihatan gede banget. Sampai menerpa kamar Andre. Ada apa sih mas, kok makan sambil melamun kayak gitu?”
"Waalaikumsalam, masuk Ndre!” Abdullah menjawab kaget dengan seteguk kunyahan yang masih ada di rongga mulut. Andre teman ngobrol ngalor ngidul selama di kost. Jadi dia sudah mengetahui bahwa aku sedang dirudung rasa cinta.
Andre menganjurkankan padaku untuk datang ke rumah Raudhah. Berkenalan juga dengan orang tuanya. Tak pikir panjang lagi, akhirnya keesokan harinya aku mengaminkan usulannya. Sebelum pergi, Andre cuman senyum-senyum melihat tingkah polahku yang berdandan rapi.
“Pantesan, parfumnya wangi begini sampe kamar ini,. mau ketemu sang permaisuri, ya Mas?”  komentar Andre dari sebelah kamar.
“Gimana, Ndre! sudah oke belom?” Abdullah berlari ke sebelah kamar, berdiri siap dinilai sobatnya.
“Sip, Mantafff mas!”, katanya sambil menggeletakkan majalah otomotif yang sedang dibacanya.
Setelah siap, Abdullah pamitan. Hatinya bersenandung riang.
Angkot hijau jurusan Cicaheum-Ciroyom ia hentikan di pinggir Jalan Suci, entah bagaimana sejarahnya bisa disebut nama jalan itu sebagai Jalan Suci, padahal nama jalan menurut peta JL. PHH Mustafa.
“Mungkin karena banyak mahasiswa yang memulai cintanya dengan cinta yang suci seperti diriku ini ya”, imbuh Abdullah dalam hati. Belum sempat ia terkekeh-kekeh dengan senyum bahagianya sendiri, beberapa ratus meter dari depan pom bensin ada seorang pria yang naik angkot, duduk persis di depanku. Ia membawa sekantong bungkusan kertas berwarna coklat. Di bagian atasnya dia genggam, menutupi bagian bawahnya yang berisi udara. Kulirik kantong itu tidak bisa diam, seperti bergerak-gerak. Genggaman itu sangat erat seolah menahan gerakan dari dalam.
Tak lama, ada suara burung yang mencicit, sumbernya dari bungkusan coklat itu.
“Wah, tega bener ini orang!” pikirku. Kasihan burung yang ada di dalam bungkusan itu pasti kesulitan mencari nafas.
“Garuda Pancasila.. akulah pendukungmu..” nyanyian mulai terdengar dari bungkus itu lagi. Aku kaget, segera kulirik ke arah bungkus coklat itu.  Sesekali kertas itu bergerak-gerak dan tampak ditahan oleh si pria berbadan gelap dan berkumis tebal.
“Happy birthday to you.. happy birthday to you..”, burung itu mulai bernyanyi lagi. Kini pikiranku mulai berganti teringat dengan Raudhah yang sebentar lagi berulang tahun. Pikiranku macam-macam, berkhayal seandainya burung itu ada sebagai kado ulang tahun nanti, tentu jadi satu kejutan yang berarti.
“Bisa nyanyi Pak?” aku mulai dengan membuka pertanyaan.
“Wah! Burung ini pinter nyanyi, De!”, sahut pria itu. “Adik sudah dengar sendiri, kan?” lanjutnya.
“Dijual ngga, pak?”
“Sayangnya ngga, De! Burung ini kesayangan Bapak” sahutnya.
“Burung apa Pak?” tanyaku penasaran.
“Burung Kenari. Adek mau kemana rapi banget?”
“Ke Tanjungsari, Pak!, temen saya mau ulang tahun.”
“Wah! Kalau kalau dikasih kado burung ini, dia pasti senang! Kalau memang begitu, saya jual murah saja buat Adek”, pria itu mulai menawarkan.
“Berapa pak mau dijualnya?” tanyaku.
“Dulu ada yang nawar lima ratus ribu saja, saya ngga lepas” jelasnya.
“Kalau saya tawar seratus ribu?”, aku buka tawaranku.
Akhirnya setelah bernego, disepakati burung yang bisa
bernyanyi itu dihargai dua ratus lima puluh ribu rupiah. Angka yang
tidak sedikit, untuk ukuran segitu bisa buat makan beberapa minggu semasa jadi anak kost.
Transaksi itu kami lakukan di depan ATM sebuah bank swasta di Jl. A. Yani dekat terminal Cicaheum. Sebelum berpisah, pria berkemeja hitam itu merobek sedikit bongkahan kertas coklat itu.
“Biar burungnya ngga kehabisan nafas”, komentarnya sambil menyerahkan bungkusan itu.
Burung kubawa ke Tanjungsari dengan hati-hati. Sebelum sampai ke rumah, dipinggir jalan ada penjual sangkar burung. Burung yang kubawa terlihat lemas, kicau nyanyiannya yang bersuara merdu tadi, tidak kudengar lagi.
“Burung ini sudah lelah..” pikirku lagi.
Raudhah tersenyum menyambutku. Menatapku heran aku membawa sangkar burung
"Assalamualaikum Raudhah Ini ada oleh-oleh dari mas" jelasku.
"Burung apa, mas?" tanyanya sambil tersenyum sambil menyimak burung yang kubawa.
"Eh, anu.. Burung apa, ya?" aku bingung menjawabnya.
"Burungnya bagus, berwarna-warni lagi, lucu.. " Raudhah dengan cepat menanggapi.
"Burungnya tadi bisa nyanyi.." jelasku lagi, “Tapi karena kecapaian jadinya dia belum bersuara lagi”.
“Apa kabar mas Abdullah? Lho, Bawa apa itu?” tiba-tiba ibu Raudhah menyapaku sambil membawa teh hangat. Ibu memang sudah biasa menyiapkan untuk setiap tamu yang datang. Meski hanya sekedar teh hangat, membuat perut ini terasa nyaman di perut. Dihidangkannya cangkir itu di atas meja bulat.
“Ee Ibu, Alhamdulillah kabar saya baik Bu!” jawab Abdullah, “Eenng, ini Bu bawa burung buat Raudhah.
“Kata mas Abdullah burungnya bisa nyanyi, Ma”, lanjut Raudhah.
“Masak sih? Wah, bagus banget kalau memang bisa nyanyi. Ayo, diminum mas tehnya”, ibu Raudhah sambil menawarkan secangkir teh yang masih mengepul asapnya.
“Mas saya taruh di atas kolam aja ya.. biar burungnya bisa istirahat” Raudhah membawa sangkar burung itu kolam ikan yang ada di dekat garasi rumahnya lewat pintu samping.
Sementara di tempat kost Abdullah di Bandung, sudah hampir tiga jam Andre menunggu sohibnya yang belum  terlihat batang hidungnya. Andre hanya termenung di depan kamarnya sesekali ia mondar-mandir di depan kamar Abdullah.
“Assalamualaikum Aa..” ucapan salam itu mengagetkan Andre, “mas Abdullah ada?” tanyanya.
“Wa’alaikumsalam, belum pulang mas.. “.
“Maaf, kemana, ya?” tanyanya lagi.
“Saya juga nunggu dari jam satu tadi. Kalau ngga kuliah, biasanya sebelum Ashar sudah pulang, mas. Paling sebentar lagi..” jawab Andre.
“Boleh saya nunggu?”
“Mangga Aa, maaf namanya siapa ya?” Andre balik bertanya.
“Saya Yamin, Aa..” jawabnya.
“saya Andre”, ia menjabat erat tangan teman barunya.
“Punya nomor ponselnya ngga, Aa?” tanyanya lagi.
“Maaf nomornya ada di HP saya. Baru saja saya kehilangan HP,
kejadiannya sebelum masuk Dhuhur tadi, sepulang dari kampus” jelas Andre.
“Wah, gimana ceritanya?” sambut Yamin dengan nada penasaran.
“Jadi, tadi saya naik angkot, sudah ada bapak tua yang berpeci putih. Saya kasihan melihat wajah bapak itu. Tidak lama, bapak itu batuk-batuk dan langsung muntah persis di depan kaki saya. Karena muntahnya, saya jadi sibuk membersihkan cipratan ke celana dan sepatu saya. Saya jadi terfokus dengan kotoran yang tertimpa di bagian bawah celana, sementara ponsel yang ada di kantong saku saya, tanpa disadari diambil bapak tua itu. Karena risih, segera saya turun dari angkot itu…” Andre menceritakan kronologis kejadian yang baru dialaminya.
“Mas yakin? Apa memang benar, apakah bapak tua itu yang mengambilnya? Jangan-jangan jatuh saat mas Yamin tunduk membersihkan celana mas..”
“Yakin mas! Di angkot saya masih sempat baca dan balas sms, dari
teman, dan membalasnya. Saya masukkan ponsel saya ke saku baju setelah kena cipratan itu”.Andre bercerita dengan penuh keyakinan.
"Memang jaman sekarang, kita harus hati-hati sama orang ya Mas, padahal orang yang mas temuin tadi sudah tua, ngga disangka ternyata dia punya niat yang tidak baik. Semoga Alloh mengampuni dan memberikan kemudahan rezeki padanya."
“Repot ya mas, saudara sendiri mencuri.. dikira alim, mana pake peci lagi. Ee ternyata tangannya jahil..” Andre begitu semangat dia menceritakan kekesalannya.
“Semoga mas Andre diberikan ketabahan dan juga ada hikmah atas kejadian ini” kata Yamin membesarkan hati sohib barunya.
“Emang, semua kejadian ada hikmah ya, mas?”
“Ya, buat kita seorang muslim. Harus percaya dan yakin dengan adanya takdir yang sudah ditetapkan-Nya, semua kejadian tentu atas ijin-Nya”, jelas Yamin.
“Oo, begitu ya? Mas Yamin sering ikut pengajian di mana?”
"Saya ikut pengajiannya di DT, mas!"
"DT? Apa itu mas?"
"DT itu Daarut Tauhiid, adanya di Geger Kalong. Kapan-kapan boleh mas kalau mau ikut, kita bisa berangkat bareng ke sana" ungkap Yamin.
Di balik kejadian hilangnya ponsel Andre, tentu saja berbuah hikmah. Kejadian itu mengantarkan niat Andre untuk menimba ilmu di tempat Yamin belajar mengaji dan mengkaji ilmu agama. Andre yang selama ini hanya membekali dirinya ilmu otomotif dan komputer.
Sementara itu di Tanjungsari Abdullah ngobrol ngalor ngidul di teras
depan. Waktu sudah hampir masuk Ashar, tak terasa sudah dua jam
obrolan yang tak berujung mereka habiskan. Kadang ada candaan, tatapan
dan rayuan.
Matahari terlihat mulai redup memancarkan sinarnya. Abdullah pun mulai sadar, sebentar lagi gelap akan datang, menyelimuti terangnya sore itu.
"Raudhah, mas pamit dulu ya", Abdullah berucap setelah helaan nafas yang panjang. Ia pamitan juga kepada ibu Raudhah.
"Iya, mas. Makasih ya sudah datang. Jangan kapok ya, mas"
"Enggaklah”
“Eiya, kapan Raudhah balik ke kostan?"
"Insya Allah minggu depan, kenapa?" jawab Raudhah.
"Ngga papa, cuman nanya doang.."
Abdullah menjawab sambil menyembunyikan kekhawatirannya kalau rasa rindunya nanti harus tahan seminggu lagi. Perjalanan kembali ke kostan Abdullah di Bandung, banyak ditemani dengan lamunan kebersamaannya siang tadi. Mobil berplat E, Jurusan Cirebon-Bandung, biasa dipanggil Elf itu menderu menembus tikungan jalan yang berlika-liku, dan akhirnya sampai di Jatinangor.
Tak lama kemudian ponselku berdering, tercantum sebuah nama dari
keluarga yang ada di Surabaya. Namanya Om Amin.
“Asaalamualaikum Abdullah!” suara teriakan tiba-tiba terdengar dari speaker ponsel yang kubawa. Hampir saja membuat penumpang di sebelahku kaget. Rupanya aku salah pencet. Setelah menekan tombol hijau, jariku meleset, tak sengaja tombol loadspeaker yang sederet dengan tombol pengatur suara yang kutekan.
 “Waalaikumsalam, Om! Apa kabar?”
Di tengah goyangan mobil yang menurun dan meliuk, aku berusaha mengembalikan suara dari ponsel yang kubawa agar tidak terdengar.
Setelah suara speaker kembali hening, kupastikan tak terdengar lagi oleh penumpang lain.
“Lagi dimana, Abdullah?” kali ini sayup-sayup suara dari ujung telepon terdengar berucap. Sambil menjawab, kucoba memastikan pada layar ponsel yang beberapa saat menerangi pula ruang mobil yang gelap. Padahal volume suaranya sudah maksimal, tapi karena deruan mobil ini rupanya yang mengerumuni suara om Amin
“YA OM! INI LAGI DI JALAN!” teriakku mengimbangi lawan suara yang ada. Kulihat beberapa penumpang dengan siluet wajahnya memandang tajam ke arahku. Pantulan cahaya dari ponsel yang membantu menampakkannya  Mungkin mereka merasa terganggu dengan teriakanku yang terakhir. Padahal kalau tidak teriakpun suaraku yang jelas-jelas dekat dengan mik telpon ini pasti bisa sampai dengan jernih dibanding kerumunan suara di sekitar telingaku.
“Oya wes, nek ngono Abdullah.. mengko wae tak telpon meneh, opo piye? 
Kupelankan suara, “Ngga papa om, bisa kok om. Maaf ini sambil jalan, jadi rame suaranya ya”.
“Iya Dul, aku minggu depan berangkat ke Bandung. Ada pelatihan”
“Wah, mampir aja om  ke kost” jadi kita bisa ngobrol dan jalan-jalan.
“Insya Allah nanti ya, Dul” sambung om Amin.
“Mau dijemput, ngga om?”
“Ngga usah Dul, Om nanti naik taksi saja”
“Ya Om, nanti naik taksinya ditawar. Hati-hati ada taksi yang suka ‘nembak‘ harga”
“Ya Dul, makasih diingetin ya.. Nanti Om kabari kalau sudah sampai. Wassalamualaikum “
“Waalaikumsalam..” Kututup dan kusimpan ponsel ini di dalam jaket pada saku dalam, agar nanti mudah kuambil, jika sewaktu-waktu ada telpon atau pesan singkat yang masuk.
Setiba di depan pintu kamar, ponselku berbunyi sebuah ringtone
singkat, tanda sms masuk. Kulepaskan ganggang pintu. Kuambil ponsel
yang ada dalam jaket, sementara kubiarkan kunci yang sudah masuk pada lubangnya.
Pesan singkat itu kubaca, “MAS BURUNGNYA MATI!”. Pengirimnya Raudhah.
Aku lemas. Lirih berucap, “Innalillahi wa Inna ilaihi rajiun.. “ sambil memejamkan mata, meneruskan dan membuka pintu kamar. Wangi parfum yang tersisa tadi pagi kukenakan masih tercium aromanya, namun suara kegembiraan itu perlahan menguap sirna sambil membayangkan burung yang kubeli tadi tak bernyanyi lagi.
"Masuk, Ndre! Darimana?" sambut Abdullah.
"Dari mesjid, habis azan tadi aku lihat kamu kok ga ke mesjid? Mana senyum-senyum sendiri, lagi... Jalan aja nyelonong samping jalan mesjid, padahal pas azan maghrib".
"Saya tadi dari pergi, pengen langsung pulang habis jalan jauh ke
Tanjungsari"
"Tanjungsari? Dimana itu?"
"Sumedang.." jawab Abdullah singkat dengan nada lemas. Andre membaca gerak-gerik Abdullah yang tidak bersemangat, dalam hatinya ingin bertanya ada apa gerangan hingga wajahnya murung. Mungkin penat.
"Dul, sudah shalat maghrib, belum?"
"ASTAGFIRULLAH!!" Abdullah langsung bangkit dari posisi nyaman
di kasurnya. Bantal yang direngkuhkan ke badannya dilemparkan begitu
saja.
Andre cuman sengit dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Sambil
duduk dan matanya menyorot sederetan judul buku yang ada di samping
kasur.
"Dul, aku sambil nunggu, baca bukumu, ya?" teriak Andre agar
suaranya dipastikan sampai ke kamar mandi yang masih di satu kamar
Abdullah. Tidak ada balasan. Sahutan baru terdengar setelah suara
kucuran dan keran berhenti.
Andre mengambil salah satu buku yang tersusun rapi di rak.
"YUP!" sahut Abdullah singkat.
Mungkin Abdullah sedang khusyuk saat berwudhu tadi. Dari pesan nabi, setiap tetesan air wudhu, jika kita hayati akan menggugurkan dosa-dosa kecil, pikir Andre dalam hati.
Tak lama, Abdullah keluar dari kamar mandi.
Tanpa berdoa, langsung menggelar sajadah ke arah kiblat. Sebelum
melakukan takbir pertama, Abdullah perhatikan jam dinding yang
menunjukkan kurang sepuluh menit lagi masuk waktu Isya. Shalat tiga
rakaatnya, singkat. Kalau saja ada kilat yang iseng lewat didepan
kamar Abdullah, pasti berhenti.  Malu ketika melihat gerakan shalatnya
Abdullah kalah cepat dengan sambaran kilat.
Lagi, gelengan kedua Andre, ketika melihat sahabatnya terburu-buru menunaikan salah satu shalat lima waktu.
Belum selesai Andre membaca satu halaman buku, Abdullah sudah
melakukan salam kedua. Tanpa melakukan dzikir dan doa, badannya ia
hempaskan ke kasur empuk yang ada di samping sajadahnya. Belum
dilipat. Tangannya ia rentangkan sambil menatap langit-langit kamar.
Andre berpura-pura serius membaca buku tapi sebenarnya sejak tadi ia
penuh selidik dengan apa yang ditemui dalam diri sohibnya.
"Ada apa sih, Dul ngelamun aja.." celetuk Andre, sambil membaca keterangan gambar yang ada di buku panduan yang dibacanya. Di halaman 98, sebuah foto gadis berjilbab tiba-tiba jatuh. Dengan sigap dan cepat Andre memperhatikannya, dan menyimpannya kembali di halaman terbuka yang masih di tahan oleh tangan kirinya.
"Ngga ada apa-apa, Ndre" cuman besok aku mo puasa. "Puasa apaan? Besok kan hari Selasa?" tanya Andre penasaran.
"Iya, uang makanku minggu ini sudah habis".
"Kenapa bisa habis, Dul? Emang habisnya kamu pake beli apa?"
 "Beli burung.."jawab Abdullah dengan lemas.
"Beli burung?"Andre kaget mendengarnya.
"Iya, beli burung..." sambil mengangguk, ia tatapkan  matanya tajam untuk meyakinkan temannya.
"Burung? Kok tumben hobimu, kan fotografi, kenapa bisa
secepat itu jadi hobi ternak burung?" tanggap Andre sambil bergurau.
"Bukan. Tadinya burung itu mau saya berikan untuk temen yang ulang
tahun. Bukan burung biasa, tapi burungnya bisa nyanyi.."
Panggilan Azan di ponsel Andre tiba-tiba berbunyi. Tiga menit lagi akan
terdengar azan Isya yang akan berkumandang. Andre bergegas berdiri
dan mengembalikan dan merapikan buku yang dibacanya.
"Shalat dulu, Yuk!" sambung lagi nanti ceritanya ajak Andre.
"Masih punya wudhu ngga?" Abdullah menggelar sajadah kedua persis di samping kanan tempat shalatnya semula, “Kalau saya masih!”.
"Alhamdulillah, masih!" imbuh Andre.
Sayup-sayup dari luar terdengar shalawat yang berkumandang diantara azan.
“Kita langsung iqamat saja, Ndre! Biar cepat”
“Astagfirullah, Dul.. Dul.. ! baiknya azan saja dulu, karena diantara azan dan iqamat ada keutamaan waktu dimana doa kita mustajab atau akan dikabulkan.
Abdullah bersungut-sungut sambil mengambil posisi sebagai muazin. Kemudian ia melantunkan kumandang azan dengan suara merdunya.
Setelah berakhir, Abdullah dan Andre mengangkat kedua tangan, berdoa dengan khusyuk berdoa dengan meresapi artinya :
“Ya Allah, Rabb Pemilik panggilan yang sempurna (azan) ini dan shalat (wajib) yang didirikan, Berilah Al-Wasilah (derajat di Surga, yang tidak akan diberikan selain kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam) dan fadhilah kepada Muhammad. Dan bangkitkan beliau sehingga bisa menempati maqam (tempat) terpuji yang telah Engkau janjikan. Sesungguhnya Engkau tidak menyalahi janji”.
“Yuk, shalat sunat dulu” ajak Andre lagi kepada Abdullah. Kali ini Abdullah menyegerakan berdiri, shalatnya khusyuk. Tapi baru rakaat pertama Abdullah tampak lama sekali salamnya. Sepertinya ia ragu, apakah dalam sujudnya itu sudah rakaat pertama atau kedua. Benar saja. Setelah salam, Andre seksama memperhatikan sambil menundukkan kepala, hatinya tetap mensucikan, melirihkan dan membesarkan pujian kepada Tuhan. Tak henti ibu jari kanannya berlompatan dari satu jari ke jari lainnya. Ia melihat Abdulllah tampak bersujud sahwi. Setelah dipastikannya selesai, kembali Andre berpesan, “Abdullah.. ada pesan dari nabi kita, jika panggilan shalat dikumandangkan maka setan akan lari sambil mengeluarkan kentut hingga ia tidak mendengar suara azan. Jika panggilan azan telah selesai, maka setan akan kembali. Dan bila iqamat dikumandangkan setan kembali berlari dan jika iqamat telah selesai dikumandangkan dia kembali lagi, lalu menyelinap masuk kepada hati seseorang seraya berkata, Ingatlah ini dan itu. Dan terus saja dia melakukan godaan ini hingga seseorang tidak menyadari berapa rakaat yang sudah dia laksanakan dalam shalatnya.”[1]. Abdullah menyimak.
“Hayo, Iqamat!”, sambung Andre lagi sambil berdiri.
Andre mengimami Abdullah, mereka melakukan shalat berjamaah. Tapi hati Abdullah tidak bisa dibohongi. Rakaat demi rakaat dilalui. Namun rasa gundah itu, masih saja menghampiri. Ia teringat dengan kabar burungnya yang mati. Sesekali gerakannya tergesa-gesa, hampir mendahului gerakan Andre yang mengimami. Astagfirullah! Kenapa jadi tidak khusyuk lagi? Pertempuran batinnya rupanya belum berakhir. Ia teringat lagi dengan pesan nabi yang disampaikan Andre tadi.
Begitu selesai shalat, mereka berdua khusyuk berzikir dan berdoa. Andre berdoa lebih lama, karena ia yakin apa yang dipanjatkan kepada-Nya akan dikabulkan oleh Alloh, Sang Pemilik Kerajaan Dunia. Sebaliknya, Abdullah mulutnya hanya berkomat-kamit dan tampak tergesa-gesa melipat sajadah kemudian meraih ponselnya. Andre hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil berdiri dan melanjutkan shalat sunat.
“Kenapa Dul.. tampaknya dirimu risau? Apa ada hubungannya dengan hilangnya burungmu tadi? Tadi sempat bilang besok mau puasa?” Andre memborbadir pertanyaan, sambil melipat sajadah.
“Ada pencuri hari ini yang baru kutemui”
“Pencuri?”
“Oooh, pencuri hati, kan?” Andre coba menebak.
Andre memperhatikan Abdullah yang membangun bayangannya sendiri. Ia senyum ke langit langit kamar, membayangkan wajah wanita yang siang tadi baru ditemuinya, sambil duduk bersandar di atas kasur empuk yang terbentang beralas karpet biru. Warna favorit Abdullah. Mata Abdullah menoleh menuju satu titik pada kamera digital yang ada antara buku-buku. Rautnya memudar. Berubah diam dan tiba-tiba menggeram. Matanya membelalak. Tangannya mengepal, menegang dan menghentak meja yang ada di sampingnya.
“PLAK! Kurang ajar itu orang..” bentak Abdullah dengan tangan mengepal memukul meja.
Istighfar, Dul..” ingat Andre menenangkan.
Astagfirullah…” bisik Abdullah. “Aku baru saja tertipu Ndre..”
“Uang dua ratus lima puluh ribu melayang terbang begitu saja, kutukarkan dengan burung yang bisa nyanyi”. Abdullah membentangkan cerita yang dialaminya tadi pagi. “Aku baru sadar. Setelah ada kabar sms bahwa burung yang kubeli tadi pagi, ternyata malam ini mati”.
“Innalillahi wa inna ilaihi rajiun.. Barangkali, peristiwa ini bisa jadi teguran buat dirimu, Dul” Andre mencoba membesarkan hati kawannya, dengan kata yang penuh makna. “Menurutmu, ibadah apa yang utama dilakukan di muka bumi?”
“Shalat!” imbuh Abdullah dengan cepat dan singkat.
 “Benar, Dul!”  Abdullah mulai tersenyum tapi sedikit terpaksa. “Sebenarnya kalau shalat itu kita lakukan dengan benar, dengan khusyuk, dihayati  dan dengan tawaddu. Sungguh! akan menjadikan hidup ini tenang, damai dan tentram"
Abdullah menatap sorotan mata Andre dengan penuh keteduhan. Samar ia perhatikan plak hitam di atas dahinya, tanda ia banyak bersyukur kepada Tuhan.
“Kulihat sejak maghrib tadi kau tampak terburu-buru, padahal tinggal mampir sebentar ada mesjid di depan mata dan di depan jalan tadi. Sampai aku ke sini pun, kau masih belum shalat. Dalam shalat ada lagi hal yang membuat aku ingin menegurmya. Engkau tampak shalat, tapi gerakannya secepat kilat. Ingat Dul, orang yang tidak menyempurnakan shalat adalah sama dengan orang yang mencuri dalam shalat. Pencuri yang ulung itu ialah orang yang mencuri shalatnya”
“Jadi sang pencuri itu sebenarnya saya ya, Ndre?” Abdullah mulai sadar akan perilakunya yang jauh dari tuntunan diingatkan oleh Andre, karibnya. “Dahulu pernah diriwayatkan sahabat menanyakan bagaimana caranya mencuri shalat [2]itu wahai Rasulullah? Kemudian Rasulullah menjawab, yaitu yang tidak menyempurnakan rukuk, sujud dan bacaan di dalam shalatnya”
“Makasih ndre, engkau sudah mengingatkanku, semoga kita termasuk orang yang beruntung… “
“Selain menyempurnakan setiap rukun shalat, bagaimana agar kita tidak terhindar dari orang yang disebut mencuri dalam shalat. Mohonlah pertolongan-Nya sebab Alloh-lah  tempat segala amal ibadah kembali” ungkap Andre sambil meneruskan dzikirnya dalam hati.


[1] [HR. bukhari no. 573]

[2] HR.Ahmad dan Tirmidzi dari Abu Qatadah

No comments:

Post a Comment