Hampir setahun perkenalanku dengan Raudhah,
kulihat kalender tertuju satu tanggal bukan yang berwarna hitam atau merah.
Tapi sebuah angka yang kulingkari sebagai tanda ulang tahunnya. Masih tiga hari
lagi.
Sudah beberapa hari ini gadis manis itu tidak
pernah lagi kutemui. Beberapa rencana kejutan mulai melintasi dalam pikiran
berseliweran ke sana ke mari. Di hari ulang tahunnya, rupanya kado yang
semestinya sudah ada, sampai hari ini belum juga kudapati. Yang terbingkai
dalam hati hanya bayang wajah muslimah dengan wajahnya yang elok berjilbab
merah.
Matahari mulai tergelincir, Abdullah berjalan menuju
warung makan yang ada di ujung gang. Ia sempatkan menengok depan bangunan
bertingkat, tempat kost Raudhah tinggal, masih di gang yang sama. Beberapa hari
ini terlihat kosong dan hening, seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan. Makan
rasanya tidak nyaman, karena rasa rindunya ingin berjumpa dengan wanita idaman.
Beberapa suap nasi disantap, tapi bayangan Raudhah senantiasa menghantui
pikirannya dan kunyahannya menjadi berhenti, batal dilahap.
"Lagi apa, mas?", tanya Andre
mengagetkanku di depan
pintu. Andre adalah teman satu kostku di Bandung, tetangga sebelah kamarku asal Medan. Postur tubuhnya besar, rambutnya keriting dan orangnya senang menghibur. Seperti balon yang pecah, wajah Raudhah sirna dalam bayangan bersama suara ada di depan pintu Abdullah yang sedikit terbuka. Abdullah sedikit tersentak.
pintu. Andre adalah teman satu kostku di Bandung, tetangga sebelah kamarku asal Medan. Postur tubuhnya besar, rambutnya keriting dan orangnya senang menghibur. Seperti balon yang pecah, wajah Raudhah sirna dalam bayangan bersama suara ada di depan pintu Abdullah yang sedikit terbuka. Abdullah sedikit tersentak.
“Assalamualaikum Mas, awan lamunan mas kelihatan
gede banget. Sampai menerpa kamar Andre. Ada apa sih mas, kok makan sambil
melamun kayak gitu?”
"Waalaikumsalam, masuk Ndre!” Abdullah
menjawab kaget dengan seteguk kunyahan yang masih ada di rongga mulut. Andre
teman ngobrol ngalor ngidul selama di kost. Jadi dia sudah mengetahui bahwa aku
sedang dirudung rasa cinta.
Andre menganjurkankan padaku untuk datang ke rumah
Raudhah. Berkenalan juga dengan orang tuanya. Tak pikir panjang lagi, akhirnya
keesokan harinya aku mengaminkan usulannya. Sebelum pergi, Andre cuman
senyum-senyum melihat tingkah polahku yang berdandan rapi.
“Pantesan,
parfumnya wangi begini sampe kamar ini,. mau ketemu sang permaisuri, ya
Mas?” komentar Andre dari sebelah kamar.
“Gimana, Ndre!
sudah oke belom?” Abdullah berlari ke sebelah kamar, berdiri siap dinilai
sobatnya.
“Sip, Mantafff
mas!”, katanya sambil menggeletakkan majalah otomotif yang sedang dibacanya.
Setelah siap,
Abdullah pamitan. Hatinya bersenandung riang.
Angkot hijau
jurusan Cicaheum-Ciroyom ia hentikan di pinggir Jalan Suci, entah bagaimana
sejarahnya bisa disebut nama jalan itu sebagai Jalan Suci, padahal nama jalan
menurut peta JL. PHH Mustafa.
“Mungkin karena
banyak mahasiswa yang memulai cintanya dengan cinta yang suci seperti diriku
ini ya”, imbuh Abdullah dalam hati. Belum sempat ia terkekeh-kekeh dengan
senyum bahagianya sendiri, beberapa ratus meter dari depan pom bensin ada
seorang pria yang naik angkot, duduk persis di depanku. Ia membawa sekantong
bungkusan kertas berwarna coklat. Di bagian atasnya dia genggam, menutupi
bagian bawahnya yang berisi udara. Kulirik
kantong itu tidak bisa diam, seperti bergerak-gerak. Genggaman itu sangat erat
seolah menahan gerakan dari dalam.
Tak lama, ada
suara burung yang mencicit, sumbernya dari bungkusan coklat itu.
“Wah, tega bener ini orang!” pikirku. Kasihan
burung yang ada di dalam bungkusan itu pasti kesulitan mencari nafas.
“Garuda Pancasila.. akulah pendukungmu..” nyanyian
mulai terdengar dari bungkus itu lagi. Aku kaget, segera kulirik ke arah
bungkus coklat itu. Sesekali kertas itu
bergerak-gerak dan tampak ditahan oleh si pria berbadan gelap dan berkumis tebal.
“Happy birthday
to you.. happy birthday to you..”, burung itu mulai bernyanyi lagi. Kini pikiranku mulai berganti teringat
dengan Raudhah yang sebentar lagi berulang tahun. Pikiranku macam-macam,
berkhayal seandainya burung itu ada sebagai kado ulang tahun nanti, tentu jadi
satu kejutan yang berarti.
“Bisa nyanyi
Pak?” aku mulai dengan membuka pertanyaan.
“Wah! Burung ini
pinter nyanyi, De!”, sahut pria itu. “Adik sudah dengar sendiri, kan?” lanjutnya.
“Dijual ngga, pak?”
“Sayangnya ngga, De! Burung ini kesayangan Bapak”
sahutnya.
“Burung apa
Pak?” tanyaku penasaran.
“Burung Kenari. Adek mau kemana rapi banget?”
“Ke Tanjungsari,
Pak!, temen saya mau ulang tahun.”
“Wah! Kalau
kalau dikasih kado burung ini, dia pasti senang! Kalau memang begitu, saya jual
murah saja buat Adek”, pria itu mulai menawarkan.
“Berapa pak mau
dijualnya?” tanyaku.
“Dulu ada yang
nawar lima
ratus ribu saja, saya ngga lepas” jelasnya.
“Kalau saya
tawar seratus ribu?”, aku buka tawaranku.
Akhirnya setelah
bernego, disepakati burung yang bisa
bernyanyi itu dihargai dua ratus lima puluh ribu rupiah. Angka yang
tidak sedikit, untuk ukuran segitu bisa buat makan beberapa minggu semasa jadi anak kost.
bernyanyi itu dihargai dua ratus lima puluh ribu rupiah. Angka yang
tidak sedikit, untuk ukuran segitu bisa buat makan beberapa minggu semasa jadi anak kost.
Transaksi itu
kami lakukan di depan ATM sebuah bank swasta di Jl. A. Yani dekat terminal
Cicaheum. Sebelum berpisah, pria berkemeja hitam itu merobek sedikit bongkahan
kertas coklat itu.
“Biar burungnya
ngga kehabisan nafas”, komentarnya sambil menyerahkan bungkusan itu.
Burung kubawa ke
Tanjungsari dengan hati-hati. Sebelum sampai ke rumah, dipinggir jalan ada
penjual sangkar burung. Burung yang kubawa terlihat lemas, kicau nyanyiannya
yang bersuara merdu tadi, tidak kudengar lagi.
“Burung ini
sudah lelah..” pikirku lagi.
Raudhah
tersenyum menyambutku. Menatapku heran aku membawa sangkar burung
"Assalamualaikum
Raudhah Ini ada oleh-oleh dari mas" jelasku.
"Burung
apa, mas?" tanyanya sambil tersenyum sambil menyimak burung yang kubawa.
"Eh, anu..
Burung apa, ya?" aku bingung menjawabnya.
"Burungnya
bagus, berwarna-warni lagi, lucu.. " Raudhah dengan cepat menanggapi.
"Burungnya
tadi bisa nyanyi.." jelasku lagi, “Tapi karena kecapaian jadinya dia belum
bersuara lagi”.
“Apa kabar mas
Abdullah? Lho, Bawa apa itu?” tiba-tiba ibu Raudhah menyapaku sambil membawa
teh hangat. Ibu memang sudah biasa menyiapkan untuk setiap tamu yang datang.
Meski hanya sekedar teh hangat, membuat perut ini terasa nyaman di perut.
Dihidangkannya cangkir itu di atas meja bulat.
“Ee Ibu,
Alhamdulillah kabar saya baik Bu!” jawab Abdullah, “Eenng, ini Bu bawa burung buat
Raudhah.
“Kata mas
Abdullah burungnya bisa nyanyi, Ma”, lanjut Raudhah.
“Masak sih? Wah,
bagus banget kalau memang bisa nyanyi. Ayo, diminum mas tehnya”, ibu Raudhah
sambil menawarkan secangkir teh yang masih mengepul asapnya.
“Mas saya taruh
di atas kolam aja ya.. biar burungnya bisa istirahat” Raudhah membawa sangkar
burung itu kolam ikan yang ada di dekat garasi rumahnya lewat pintu samping.
Sementara di
tempat kost Abdullah di Bandung, sudah hampir tiga jam Andre menunggu sohibnya
yang belum terlihat batang hidungnya.
Andre hanya termenung di depan kamarnya sesekali ia mondar-mandir di depan
kamar Abdullah.
“Assalamualaikum
Aa..” ucapan salam itu mengagetkan Andre, “mas Abdullah ada?” tanyanya.
“Wa’alaikumsalam,
belum pulang mas.. “.
“Maaf, kemana,
ya?” tanyanya lagi.
“Saya juga
nunggu dari jam satu tadi. Kalau ngga kuliah, biasanya sebelum Ashar sudah
pulang, mas. Paling sebentar lagi..” jawab Andre.
“Boleh saya
nunggu?”
“Mangga Aa, maaf
namanya siapa ya?” Andre balik bertanya.
“Saya Yamin,
Aa..” jawabnya.
“saya Andre”, ia
menjabat erat tangan teman barunya.
“Punya nomor
ponselnya ngga, Aa?” tanyanya lagi.
“Maaf nomornya
ada di HP saya. Baru saja saya kehilangan HP,
kejadiannya sebelum masuk Dhuhur tadi, sepulang dari kampus” jelas Andre.
kejadiannya sebelum masuk Dhuhur tadi, sepulang dari kampus” jelas Andre.
“Wah, gimana
ceritanya?” sambut Yamin dengan nada penasaran.
“Jadi, tadi saya
naik angkot, sudah ada bapak tua yang berpeci putih. Saya kasihan melihat wajah
bapak itu. Tidak lama, bapak itu batuk-batuk dan langsung muntah persis di
depan kaki saya. Karena muntahnya, saya jadi sibuk membersihkan cipratan ke
celana dan sepatu saya. Saya jadi terfokus dengan kotoran yang tertimpa di
bagian bawah celana, sementara ponsel yang ada di kantong saku saya, tanpa
disadari diambil bapak tua itu. Karena risih, segera saya turun dari angkot
itu…” Andre menceritakan kronologis kejadian yang baru dialaminya.
“Mas yakin? Apa
memang benar, apakah bapak tua itu yang mengambilnya? Jangan-jangan jatuh saat
mas Yamin tunduk membersihkan celana mas..”
“Yakin mas! Di angkot saya masih sempat baca dan balas sms, dari
teman, dan membalasnya. Saya masukkan ponsel saya ke saku baju setelah kena cipratan itu”.Andre bercerita dengan penuh keyakinan.
“Yakin mas! Di angkot saya masih sempat baca dan balas sms, dari
teman, dan membalasnya. Saya masukkan ponsel saya ke saku baju setelah kena cipratan itu”.Andre bercerita dengan penuh keyakinan.
"Memang
jaman sekarang, kita harus hati-hati sama orang ya Mas, padahal orang yang mas
temuin tadi sudah tua, ngga disangka ternyata dia punya niat yang tidak baik. Semoga
Alloh mengampuni dan memberikan kemudahan rezeki padanya."
“Repot ya mas,
saudara sendiri mencuri.. dikira alim, mana pake peci lagi. Ee ternyata
tangannya jahil..” Andre begitu semangat dia menceritakan kekesalannya.
“Semoga mas
Andre diberikan ketabahan dan juga ada hikmah atas kejadian ini” kata Yamin
membesarkan hati sohib barunya.
“Emang, semua
kejadian ada hikmah ya, mas?”
“Ya, buat kita
seorang muslim. Harus percaya dan yakin dengan adanya takdir yang sudah
ditetapkan-Nya, semua kejadian tentu atas ijin-Nya”, jelas Yamin.
“Oo, begitu ya?
Mas Yamin sering ikut pengajian di mana?”
"Saya ikut
pengajiannya di DT, mas!"
"DT? Apa itu mas?"
"DT itu Daarut Tauhiid, adanya di Geger Kalong.
Kapan-kapan boleh mas kalau mau ikut, kita bisa berangkat bareng ke sana"
ungkap Yamin.
Di balik kejadian hilangnya ponsel Andre, tentu
saja berbuah hikmah. Kejadian itu mengantarkan niat Andre untuk menimba ilmu di
tempat Yamin belajar mengaji dan mengkaji ilmu agama. Andre yang selama ini
hanya membekali dirinya ilmu otomotif dan komputer.
Sementara itu di Tanjungsari Abdullah ngobrol
ngalor ngidul di teras
depan. Waktu sudah hampir masuk Ashar, tak terasa sudah dua jam
obrolan yang tak berujung mereka habiskan. Kadang ada candaan, tatapan
dan rayuan.
depan. Waktu sudah hampir masuk Ashar, tak terasa sudah dua jam
obrolan yang tak berujung mereka habiskan. Kadang ada candaan, tatapan
dan rayuan.
Matahari terlihat mulai redup memancarkan
sinarnya. Abdullah pun mulai sadar, sebentar lagi gelap akan datang,
menyelimuti terangnya sore itu.
"Raudhah, mas pamit dulu ya", Abdullah
berucap setelah helaan nafas yang panjang. Ia pamitan juga kepada ibu Raudhah.
"Iya, mas. Makasih ya sudah datang. Jangan
kapok ya, mas"
"Enggaklah”
“Eiya, kapan Raudhah balik ke kostan?"
“Eiya, kapan Raudhah balik ke kostan?"
"Insya Allah minggu depan, kenapa?"
jawab Raudhah.
"Ngga papa, cuman nanya doang.."
Abdullah menjawab sambil menyembunyikan
kekhawatirannya kalau rasa rindunya nanti harus tahan seminggu lagi. Perjalanan
kembali ke kostan Abdullah di Bandung, banyak ditemani dengan lamunan
kebersamaannya siang tadi. Mobil berplat E, Jurusan Cirebon-Bandung, biasa
dipanggil Elf itu menderu menembus tikungan jalan yang berlika-liku, dan
akhirnya sampai di Jatinangor.
Tak lama
kemudian ponselku berdering, tercantum sebuah nama dari
keluarga yang ada di Surabaya. Namanya Om Amin.
keluarga yang ada di Surabaya. Namanya Om Amin.
“Asaalamualaikum
Abdullah!” suara teriakan tiba-tiba terdengar dari speaker ponsel yang kubawa.
Hampir saja membuat penumpang di sebelahku kaget. Rupanya aku salah pencet.
Setelah menekan tombol hijau, jariku meleset, tak sengaja tombol loadspeaker
yang sederet dengan tombol pengatur suara yang kutekan.
“Waalaikumsalam, Om!
Apa kabar?”
Di tengah
goyangan mobil yang menurun dan meliuk, aku berusaha mengembalikan suara dari
ponsel yang kubawa agar tidak terdengar.
Setelah suara
speaker kembali hening, kupastikan tak terdengar lagi oleh penumpang lain.
“Lagi dimana,
Abdullah?” kali ini sayup-sayup suara dari ujung telepon terdengar berucap.
Sambil menjawab, kucoba memastikan pada layar ponsel yang beberapa saat
menerangi pula ruang mobil yang gelap. Padahal volume suaranya sudah maksimal,
tapi karena deruan mobil ini rupanya yang mengerumuni suara om Amin
“YA OM! INI LAGI DI JALAN!” teriakku mengimbangi
lawan suara yang ada. Kulihat beberapa penumpang dengan siluet wajahnya
memandang tajam ke arahku. Pantulan cahaya dari ponsel yang membantu
menampakkannya Mungkin mereka merasa
terganggu dengan teriakanku yang terakhir. Padahal kalau tidak teriakpun
suaraku yang jelas-jelas dekat dengan mik telpon ini pasti bisa sampai dengan
jernih dibanding kerumunan suara di sekitar telingaku.
“Oya wes, nek ngono Abdullah.. mengko wae tak telpon meneh, opo piye?”
Kupelankan suara, “Ngga papa om, bisa kok om. Maaf ini sambil jalan,
jadi rame suaranya ya”.
“Iya Dul, aku minggu depan
berangkat ke Bandung.
Ada pelatihan”
“Wah, mampir aja om ke kost” jadi
kita bisa ngobrol dan jalan-jalan.
“Insya Allah nanti ya, Dul” sambung
om Amin.
“Mau dijemput, ngga om?”
“Ngga usah Dul, Om nanti naik taksi saja”
“Ya Om, nanti naik taksinya ditawar. Hati-hati ada taksi yang suka
‘nembak‘ harga”
“Ya Dul, makasih diingetin ya.. Nanti Om kabari kalau sudah sampai.
Wassalamualaikum “
“Waalaikumsalam..” Kututup dan kusimpan ponsel ini
di dalam jaket pada saku dalam, agar nanti mudah kuambil, jika sewaktu-waktu
ada telpon atau pesan singkat yang masuk.
Setiba di depan
pintu kamar, ponselku berbunyi sebuah ringtone
singkat, tanda sms masuk. Kulepaskan ganggang pintu. Kuambil ponsel
yang ada dalam jaket, sementara kubiarkan kunci yang sudah masuk pada lubangnya.
singkat, tanda sms masuk. Kulepaskan ganggang pintu. Kuambil ponsel
yang ada dalam jaket, sementara kubiarkan kunci yang sudah masuk pada lubangnya.
Pesan singkat
itu kubaca, “MAS BURUNGNYA MATI!”. Pengirimnya Raudhah.
Aku lemas. Lirih
berucap, “Innalillahi wa Inna ilaihi
rajiun.. “ sambil memejamkan
mata, meneruskan dan membuka pintu kamar. Wangi parfum yang tersisa tadi pagi
kukenakan masih tercium aromanya, namun suara kegembiraan itu perlahan menguap
sirna sambil membayangkan burung yang kubeli tadi tak bernyanyi lagi.
"Masuk,
Ndre! Darimana?" sambut Abdullah.
"Dari mesjid, habis azan tadi aku lihat kamu
kok ga ke mesjid? Mana senyum-senyum sendiri, lagi... Jalan aja
nyelonong samping jalan mesjid, padahal pas azan maghrib".
"Saya tadi
dari pergi, pengen langsung pulang habis jalan jauh ke
Tanjungsari"
Tanjungsari"
"Tanjungsari?
Dimana itu?"
"Sumedang.."
jawab Abdullah singkat dengan nada lemas. Andre membaca gerak-gerik Abdullah
yang tidak bersemangat, dalam hatinya ingin bertanya ada apa gerangan hingga
wajahnya murung. Mungkin penat.
"Dul, sudah
shalat maghrib, belum?"
"ASTAGFIRULLAH!!"
Abdullah langsung bangkit dari posisi nyaman
di kasurnya. Bantal yang direngkuhkan ke badannya dilemparkan begitu
saja.
di kasurnya. Bantal yang direngkuhkan ke badannya dilemparkan begitu
saja.
Andre cuman sengit dan menggeleng-gelengkan
kepalanya. Sambil
duduk dan matanya menyorot sederetan judul buku yang ada di samping
kasur.
duduk dan matanya menyorot sederetan judul buku yang ada di samping
kasur.
"Dul, aku sambil nunggu, baca bukumu,
ya?" teriak Andre agar
suaranya dipastikan sampai ke kamar mandi yang masih di satu kamar
Abdullah. Tidak ada balasan. Sahutan baru terdengar setelah suara
kucuran dan keran berhenti. Andre mengambil salah satu buku yang tersusun rapi di rak.
suaranya dipastikan sampai ke kamar mandi yang masih di satu kamar
Abdullah. Tidak ada balasan. Sahutan baru terdengar setelah suara
kucuran dan keran berhenti. Andre mengambil salah satu buku yang tersusun rapi di rak.
"YUP!"
sahut Abdullah singkat.
Mungkin Abdullah
sedang khusyuk saat berwudhu tadi. Dari pesan nabi, setiap tetesan air wudhu,
jika kita hayati akan menggugurkan dosa-dosa kecil, pikir Andre dalam hati.
Tak lama,
Abdullah keluar dari kamar mandi.
Tanpa berdoa, langsung menggelar sajadah ke arah kiblat. Sebelum
melakukan takbir pertama, Abdullah perhatikan jam dinding yang
menunjukkan kurang sepuluh menit lagi masuk waktu Isya. Shalat tiga
rakaatnya, singkat. Kalau saja ada kilat yang iseng lewat didepan
kamar Abdullah, pasti berhenti. Malu ketika melihat gerakan shalatnya
Abdullah kalah cepat dengan sambaran kilat.
Tanpa berdoa, langsung menggelar sajadah ke arah kiblat. Sebelum
melakukan takbir pertama, Abdullah perhatikan jam dinding yang
menunjukkan kurang sepuluh menit lagi masuk waktu Isya. Shalat tiga
rakaatnya, singkat. Kalau saja ada kilat yang iseng lewat didepan
kamar Abdullah, pasti berhenti. Malu ketika melihat gerakan shalatnya
Abdullah kalah cepat dengan sambaran kilat.
Lagi, gelengan
kedua Andre, ketika melihat sahabatnya terburu-buru menunaikan salah satu
shalat lima
waktu.
Belum selesai
Andre membaca satu halaman buku, Abdullah sudah
melakukan salam kedua. Tanpa melakukan dzikir dan doa, badannya ia
hempaskan ke kasur empuk yang ada di samping sajadahnya. Belum
dilipat. Tangannya ia rentangkan sambil menatap langit-langit kamar.
Andre berpura-pura serius membaca buku tapi sebenarnya sejak tadi ia
penuh selidik dengan apa yang ditemui dalam diri sohibnya.
melakukan salam kedua. Tanpa melakukan dzikir dan doa, badannya ia
hempaskan ke kasur empuk yang ada di samping sajadahnya. Belum
dilipat. Tangannya ia rentangkan sambil menatap langit-langit kamar.
Andre berpura-pura serius membaca buku tapi sebenarnya sejak tadi ia
penuh selidik dengan apa yang ditemui dalam diri sohibnya.
"Ada apa sih, Dul ngelamun aja.." celetuk
Andre, sambil membaca keterangan gambar yang ada di buku panduan yang
dibacanya. Di halaman 98, sebuah foto gadis berjilbab tiba-tiba jatuh. Dengan
sigap dan cepat Andre memperhatikannya, dan menyimpannya kembali di halaman
terbuka yang masih di tahan oleh tangan kirinya.
"Ngga ada
apa-apa, Ndre" cuman besok aku mo puasa. "Puasa apaan? Besok kan hari Selasa?"
tanya Andre penasaran.
"Iya, uang
makanku minggu ini sudah habis".
"Kenapa
bisa habis, Dul? Emang habisnya kamu pake beli apa?"
"Beli burung.."jawab
Abdullah dengan lemas.
"Beli burung?"Andre kaget mendengarnya.
"Beli burung?"Andre kaget mendengarnya.
"Iya, beli
burung..." sambil mengangguk, ia tatapkan
matanya tajam untuk meyakinkan temannya.
"Burung?
Kok tumben hobimu, kan
fotografi, kenapa bisa
secepat itu jadi hobi ternak burung?" tanggap Andre sambil bergurau.
"Bukan. Tadinya burung itu mau saya berikan untuk temen yang ulang
tahun. Bukan burung biasa, tapi burungnya bisa nyanyi.."
secepat itu jadi hobi ternak burung?" tanggap Andre sambil bergurau.
"Bukan. Tadinya burung itu mau saya berikan untuk temen yang ulang
tahun. Bukan burung biasa, tapi burungnya bisa nyanyi.."
Panggilan Azan
di ponsel Andre tiba-tiba berbunyi. Tiga menit lagi akan
terdengar azan Isya yang akan berkumandang. Andre bergegas berdiri
dan mengembalikan dan merapikan buku yang dibacanya.
terdengar azan Isya yang akan berkumandang. Andre bergegas berdiri
dan mengembalikan dan merapikan buku yang dibacanya.
"Shalat
dulu, Yuk!" sambung lagi nanti ceritanya ajak Andre.
"Masih
punya wudhu ngga?" Abdullah menggelar sajadah kedua persis di samping
kanan tempat shalatnya semula, “Kalau saya masih!”.
"Alhamdulillah,
masih!" imbuh Andre.
Sayup-sayup dari
luar terdengar shalawat yang berkumandang diantara azan.
“Kita langsung
iqamat saja, Ndre! Biar cepat”
“Astagfirullah,
Dul.. Dul.. ! baiknya azan saja dulu, karena diantara azan dan iqamat ada
keutamaan waktu dimana doa kita mustajab atau akan dikabulkan.
Abdullah
bersungut-sungut sambil mengambil posisi sebagai muazin. Kemudian ia
melantunkan kumandang azan dengan suara merdunya.
Setelah
berakhir, Abdullah dan Andre mengangkat kedua tangan, berdoa dengan khusyuk
berdoa dengan meresapi artinya :
“Ya
Allah, Rabb Pemilik panggilan yang sempurna (azan) ini dan shalat (wajib) yang
didirikan, Berilah Al-Wasilah (derajat di Surga, yang tidak akan diberikan
selain kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam) dan fadhilah kepada Muhammad. Dan bangkitkan beliau sehingga bisa
menempati maqam (tempat) terpuji yang telah Engkau janjikan. Sesungguhnya
Engkau tidak menyalahi janji”.
“Yuk, shalat sunat dulu” ajak Andre lagi kepada
Abdullah. Kali ini Abdullah menyegerakan berdiri, shalatnya khusyuk. Tapi baru
rakaat pertama Abdullah tampak lama sekali salamnya. Sepertinya ia ragu, apakah
dalam sujudnya itu sudah rakaat pertama atau kedua. Benar saja. Setelah salam,
Andre seksama memperhatikan sambil menundukkan kepala, hatinya tetap
mensucikan, melirihkan dan membesarkan pujian kepada Tuhan. Tak henti ibu jari
kanannya berlompatan dari satu jari ke jari lainnya. Ia melihat Abdulllah
tampak bersujud sahwi. Setelah dipastikannya selesai, kembali Andre berpesan,
“Abdullah.. ada pesan dari nabi kita, jika panggilan shalat dikumandangkan maka
setan akan lari sambil mengeluarkan kentut hingga ia tidak mendengar suara
azan. Jika panggilan azan telah selesai, maka setan akan kembali. Dan bila
iqamat dikumandangkan setan kembali berlari dan jika iqamat telah selesai
dikumandangkan dia kembali lagi, lalu menyelinap masuk kepada hati seseorang
seraya berkata, Ingatlah ini dan itu.
Dan terus saja dia melakukan godaan ini hingga seseorang tidak menyadari berapa
rakaat yang sudah dia laksanakan dalam shalatnya.”[1].
Abdullah menyimak.
“Hayo, Iqamat!”, sambung Andre lagi sambil
berdiri.
Andre mengimami Abdullah, mereka melakukan shalat
berjamaah. Tapi hati Abdullah tidak bisa dibohongi. Rakaat demi rakaat
dilalui. Namun rasa gundah itu, masih saja menghampiri. Ia teringat dengan
kabar burungnya yang mati. Sesekali gerakannya tergesa-gesa, hampir mendahului
gerakan Andre yang mengimami. Astagfirullah!
Kenapa jadi tidak khusyuk lagi? Pertempuran batinnya rupanya belum
berakhir. Ia teringat lagi dengan
pesan nabi yang disampaikan Andre tadi.
Begitu selesai shalat, mereka berdua khusyuk
berzikir dan berdoa. Andre berdoa lebih lama, karena ia yakin apa yang
dipanjatkan kepada-Nya akan dikabulkan oleh Alloh, Sang Pemilik Kerajaan Dunia.
Sebaliknya, Abdullah mulutnya hanya berkomat-kamit dan tampak tergesa-gesa
melipat sajadah kemudian meraih ponselnya. Andre hanya menggeleng-gelengkan
kepala sambil berdiri dan melanjutkan shalat sunat.
“Kenapa Dul.. tampaknya dirimu risau? Apa ada
hubungannya dengan hilangnya burungmu tadi? Tadi sempat bilang besok mau
puasa?” Andre memborbadir pertanyaan, sambil melipat sajadah.
“Ada pencuri hari ini yang baru kutemui”
“Pencuri?”
“Oooh, pencuri hati, kan?” Andre coba menebak.
Andre memperhatikan Abdullah yang membangun
bayangannya sendiri. Ia senyum ke langit langit kamar, membayangkan wajah
wanita yang siang tadi baru ditemuinya, sambil duduk bersandar di atas kasur
empuk yang terbentang beralas karpet biru. Warna favorit Abdullah. Mata
Abdullah menoleh menuju satu titik pada kamera digital yang ada antara
buku-buku. Rautnya memudar. Berubah diam dan tiba-tiba menggeram.
Matanya membelalak. Tangannya
mengepal, menegang dan menghentak meja yang ada di sampingnya.
“PLAK! Kurang ajar itu orang..” bentak Abdullah
dengan tangan mengepal memukul meja.
“Istighfar,
Dul..” ingat Andre menenangkan.
“Astagfirullah…”
bisik Abdullah. “Aku baru saja tertipu Ndre..”
“Uang dua ratus lima puluh ribu melayang terbang
begitu saja, kutukarkan dengan burung yang bisa nyanyi”. Abdullah
membentangkan cerita yang dialaminya tadi pagi. “Aku baru sadar. Setelah ada
kabar sms bahwa burung yang kubeli tadi pagi, ternyata malam ini mati”.
“Innalillahi wa
inna ilaihi rajiun.. Barangkali, peristiwa ini bisa jadi teguran buat dirimu,
Dul” Andre mencoba membesarkan hati kawannya, dengan kata yang penuh makna.
“Menurutmu, ibadah apa yang utama dilakukan di muka bumi?”
“Shalat!” imbuh
Abdullah dengan cepat dan singkat.
“Benar, Dul!”
Abdullah mulai tersenyum tapi sedikit terpaksa. “Sebenarnya kalau shalat
itu kita lakukan dengan benar, dengan khusyuk, dihayati dan dengan tawaddu. Sungguh! akan menjadikan
hidup ini tenang, damai dan tentram"
Abdullah menatap
sorotan mata Andre dengan penuh keteduhan. Samar
ia perhatikan plak hitam di atas dahinya, tanda ia banyak bersyukur kepada
Tuhan.
“Kulihat sejak
maghrib tadi kau tampak terburu-buru, padahal tinggal mampir sebentar ada
mesjid di depan mata dan di depan jalan tadi. Sampai aku ke sini pun, kau masih
belum shalat. Dalam shalat ada lagi hal yang membuat aku ingin menegurmya.
Engkau tampak shalat, tapi gerakannya secepat kilat. Ingat Dul, orang yang tidak menyempurnakan shalat adalah sama dengan
orang yang mencuri dalam shalat. Pencuri yang ulung itu ialah orang yang
mencuri shalatnya”
“Jadi sang pencuri itu sebenarnya saya ya, Ndre?” Abdullah
mulai sadar akan perilakunya yang jauh dari tuntunan diingatkan oleh Andre,
karibnya. “Dahulu pernah diriwayatkan sahabat menanyakan bagaimana caranya mencuri shalat [2]itu wahai
Rasulullah? Kemudian Rasulullah menjawab,
yaitu yang tidak menyempurnakan rukuk, sujud dan bacaan di dalam shalatnya”
“Makasih ndre,
engkau sudah mengingatkanku, semoga kita termasuk orang yang beruntung… “
“Selain menyempurnakan setiap rukun shalat, bagaimana agar
kita tidak terhindar dari orang yang disebut mencuri dalam shalat. Mohonlah
pertolongan-Nya sebab Alloh-lah tempat
segala amal ibadah kembali” ungkap Andre sambil meneruskan dzikirnya dalam
hati.
No comments:
Post a Comment