Azan subuh berkumandang. Entah kenapa,
panggilan ”asshalatu kairum minna naum” terasa
bergetar hati ini dan berguncang. Segera kutunaikan shalat subuh sendirian.
Usai itu kusetel radio, mencari frekuensi yang disebutkan Yamin tadi malam.
Sapaan salam dari sang penyiar
menghangatkan udara pagi yang masih dingin. Kokok
ayam di luar kamar terdengar bersahutan memecah keheningan fajar yang tak
berangin. Satu dari sekian makhluk
ciptaan-Nya ini menjalankan tugas-Nya, kokoknya diperdengarkan kepada
orang-orang mukmin. Segera ia memohon karunia-Nya[1].
Alhamdulillah, pagi ini aku mendapat ilmu yang
menyejukkan. Tidak seperti hari sebelumnya, biasanya kusetel radio lalu menggeser-geser frekuensi yang memutar lagu-lagu
hiburan. Sambil menyelesaikan daftar pekerjaan yang
harus kuselesaikan hari ini.
“Ya ampun, besok ulang tahun Raudhah,
kado untuknya belum aku siapkan” celetuk Abdullah.
Beberapa kata mulai kutulis, sampai
akhirnya tidak ada lima belas menit selesai sudah puisi dan siap dirilis. Puisi
itu kubaca. Kusimak kata demi katanya dengan cermat. Belum pernah aku
menyatakan perasaaan ini padanya, layaknya prajurit yang berani pantang
menyerah dan nekat.
Kunyalakan komputer yang ada di
samping meja. Folder khusus tempat menyimpan foto-foto Raudhah segera kubuka.
Foto itu hasil jepretan paparazi yang sengaja kuambil tanpa diketahuinya. Foto
pertama diambil saat ia asik ngobrol
dengan teman satu kost-nya, aku ikut nimbrung. Sementara kamera yang ada di
tangan, diam-diam menjepret gelagatnya. Tanpa diketahui dengan berbagai gaya.
Aku kompilasi beberapa foto yang ada.
Didesain sedemikian rupa dengan menonjolkan wajah Raudhah seperti tercetak
dalam majalah. Alhamdulillah, selesai sudah foto kolase yang nanti akan
dijadikan hadiah. Kini siap dicetak di studio foto Jonas. Hanya berjarak lima
belas menit dari tempat kostku, batinnya.
“Jam tujuh nanti malam ya mas, fotonya boleh diambil” kata
petugas studio siang itu.
Di tangan kirinya, dengan spontan ia tengok penunjuk waktu.
Rupanya dua jarum jam panjang dan pendek saling mendekat sebentar lagi bertemu.
Pukul 12. berarti di luar matahari sedang mengambil posisi di atas kepala.
Meski matahari terik menyengat, namun Abdullah masih tetap bersemangat. Di
tengah perjalanan melaju ke arah kampusnya, sayup-sayup ia mendekati suara yang
datang dari corong mesjid melantunkan iqamat.
“Masih sempat ia mengikuti dua mata kuliah lagi di
kampusnya, aku shalat dulu”, pikirnya.
Begitu masuk
mesjid, satu shaf makmum yang shalat, tidak terisi penuh. Hanya lima jamaah. Salah satunya
ada Andre, teman satu kost Abdullah.
Seusai salam dan
berdoa Abdullah menyapa. “Loh, Ndre kok ada di sini?”
“Iya Dul,
tadinya mo langsung kuliah, tapi pas lewat depan mesjid ini pas iqamat. Makanya
langsung mampir dulu bentar”
“Ntar malam ada
acara ngga?”
“Belum ada” jawab Andre singkat.
“Boleh ngga temenin aku mo ambil foto. Frame fotonya gede, karena
kalau pake motor bahaya”
“Jam berapa?”
“Insya Allah jam tujuh, bada Maghrib” jelas Abdullah. Dan Andre mengangguk tanda
setuju sambil meng-ok-kan dengan jempolnya.
“Trus ini mo lanjut kemana?” Abdullah balik bertanya.
“Mau pulang, mas. Barusan selesai kuliah”
“Ooh jadi kostan, biar aku antar”
“Kuliahmu jam berapa?” tanya Andre.
“Setengah jam lagi. Jam satu. ” Abdullah sambil melirik
pada jamnya.
“Sudah. Kuliah saja dulu mas, kalau mas datang telat, rugi.
Apalagi kalau sampai tidak datang” bujuk Andre.
“Yang penting kan
absennya? Tak apalah telat, materi sebelumnya bisa belajar sendiri di rumah”
sanggah Abdullah.
“Mas Dul, ilmu
itu investasi. Investasi tidak melulu dengan materi, kita bisa membekalinya
dengan ilmu. Mas Dul sudah bagus sekarang bisa shalat tepat waktu. Karena
banyak keutamaannya. Semestinya ini jadi cermin buat kita bahkan umat muslim di
dunia. Kalau ada orang yang tidak bisa tepat waktu, berarti ada sesuatu yang
salah dengan shalatnya. Karena dia tidak bisa menghargai waktu. Dan tidak baik
menunda waktu, malah jadi repot waktunya untuk mencari pinjaman materi yang
tertinggal, fotocopy dan belajar lagi. Malah jadi habis nanti waktunya, kan?” Andre berdiri
memberi senyum sambil menyeka wajahnya yang mulai berkeringat, karena panas
yang menyengat. Lalu ia memberi kode telunjuknya untuk segera berangkat, “Ayo
kuliah! Aku ikut sampai kampus saja. Dari kampus, biar lanjut pakai angkot”,
Andre mengajak Abdullah yang sudah siap dengan
motornya. Kedua spion motor diaturnya. Pantulan wajah Andre ada di spion kaca.
“Diikat dulu helmmu, Ndre! Biar aman. Bukan
alasan karena ada pak Polisi, itu sudah tidak jaman!” Abdullah kali ini yang
mengingatkan Andre. Kali ini senyum bangga Andre sambil membantu Andre yang
membalikkan motornya memutar haluan.
Ada perasaan lega setelah mampir di Mesjid
Soedirman yang ada di pojok Jalan Pahlawan. Karena kewajiban shalat yang sudah
ditunaikan. Ada kejutan yang tidak disadari
Abdullah di sana.
Ia dipertemukan dengan Andre, tetangga satu kost-nya. Tidak disangka pula
rencana Abdullah untuk mengambil foto di studio sudah dimudahkan-Nya. Di mesjid
itu pula Abdullah mendapat banyak nasehat yang menguatkan diri, dari Andre
sahabatnya.
“Lihat Ndre, motor yang ada di depan kita!”
teriak Abdullah di tengah kemacetan menjelang lampu lalu lintas yang masih
merah.
“Pada mau kemana tuh mereka, bawa kipas angin. Barangkali
rusak tuh kipasnya mo diservice”.
“Bukan, mereka itu kepanasan!”
“Kepanasan?” tanya Andre heran. Dan motor Abdullah perlahan
mulai jalan melewati lampu pengatur yang masi hijau.
“Iya, jadi kalau di jalan kepanasan besok-besok bawa kipas
angin aja. Tuh, kipasnya bisa muter, kan?”
canda Abdullah pada Andre.
“Lho, kok bisa muter? Oiya ya, muternya karena tiupan
angin. Hahahaha” derai tawa mereka pun mendinginkan suasana panas.
Malamnya, mereka sudah sampai di studio. Frame hitam
minimalis membingkai foto. Abdullah senang dan bersyukur karyanya sudah siap
untuk diberikan sebagai kado.
“Rencananya besok mau aku antar kado ini ke Tanjungsari.
Kau ada waktu?”
“Jam berapa?” tanya Andre.
“Insya Allah besok jam delapan, ya?”
“Boleh. Sama siapa saja?”
“Nanti aku akan ajak Sidiq, Yamin dan Salman. Karena
perjalanan kita ke Tanjungsari Sumedang bisa makan waktu dua jam perjalanan. Sidiq
itu orangnya kocak, jadi kita bisa ada hiburan. Kalau Yamin, banyak ilmu untuk
mempertebal iman”, Abdullah sambil mengambil posisi, dan membuka kardus berisi
frame dengan desain foto puisi yang baru selesai dibuatnya.
“Lha, kalau Salman?”
“Kalau Salman, jiwanya petualang. Pulang nanti aku kontak
semuanya. Kita berangkat jam delapan”.
Andre dengan seksama membaca memperhatikan puisi yang
dibuat sahabatnya. Pelan-pelan ia baca puisinya :
Jiwa terisi
beriring waktu penuh imaji
Indah terurai saat
kumenyendiri berseri
Membayang kala
malam datang menghampiri
Menjauh kala
mentari terbangun dan mulai berdiri
Yang siap
menyinari jalan kehidupan pagi terbalut sepi
Welas asih
terpancar bak sinarannya
Alangkah merdu
teriring kicau burung bercengkerama
Hari ini sang dewi
menyambut bertambahnya usia
Yang tak goyah
terus meraih cita dan cinta
Untuk seorang dan
dirinya yang selalu setia
Dalam doa 'tuk
adinda yang mengisi hari penuh pesona
Impian smoga kau
gapai dan bahagia
No comments:
Post a Comment