Friday, December 4, 2015

Kado Puisi



Azan subuh berkumandang. Entah kenapa, panggilan ”asshalatu kairum minna naum” terasa bergetar hati ini dan berguncang. Segera kutunaikan shalat subuh sendirian. Usai itu kusetel radio, mencari frekuensi yang disebutkan Yamin tadi malam.
Sapaan salam dari sang penyiar menghangatkan udara pagi yang masih dingin. Kokok ayam di luar kamar terdengar bersahutan memecah keheningan fajar yang tak berangin.  Satu dari sekian makhluk ciptaan-Nya ini menjalankan tugas-Nya, kokoknya diperdengarkan kepada orang-orang mukmin. Segera ia memohon karunia-Nya[1].
Alhamdulillah, pagi ini aku mendapat ilmu yang menyejukkan. Tidak seperti hari sebelumnya, biasanya kusetel radio lalu  menggeser-geser frekuensi yang memutar lagu-lagu hiburan. Sambil menyelesaikan daftar pekerjaan yang harus kuselesaikan hari ini.
“Ya ampun, besok ulang tahun Raudhah, kado untuknya belum aku siapkan” celetuk Abdullah.
Beberapa kata mulai kutulis, sampai akhirnya tidak ada lima belas menit selesai sudah puisi dan siap dirilis. Puisi itu kubaca. Kusimak kata demi katanya dengan cermat. Belum pernah aku menyatakan perasaaan ini padanya, layaknya prajurit yang berani pantang menyerah dan nekat.
Kunyalakan komputer yang ada di samping meja. Folder khusus tempat menyimpan foto-foto Raudhah segera kubuka. Foto itu hasil jepretan paparazi yang sengaja kuambil tanpa diketahuinya. Foto pertama diambil saat ia asik ngobrol dengan teman satu kost-nya, aku ikut nimbrung. Sementara kamera yang ada di tangan, diam-diam menjepret gelagatnya. Tanpa diketahui dengan berbagai gaya.
Aku kompilasi beberapa foto yang ada. Didesain sedemikian rupa dengan menonjolkan wajah Raudhah seperti tercetak dalam majalah. Alhamdulillah, selesai sudah foto kolase yang nanti akan dijadikan hadiah. Kini siap dicetak di studio foto Jonas. Hanya berjarak lima belas menit dari tempat kostku, batinnya.
“Jam tujuh nanti malam ya mas, fotonya boleh diambil” kata petugas studio siang itu.
Di tangan kirinya, dengan spontan ia tengok penunjuk waktu. Rupanya dua jarum jam panjang dan pendek saling mendekat sebentar lagi bertemu. Pukul 12. berarti di luar matahari sedang mengambil posisi di atas kepala. Meski matahari terik menyengat, namun Abdullah masih tetap bersemangat. Di tengah perjalanan melaju ke arah kampusnya, sayup-sayup ia mendekati suara yang datang dari corong mesjid melantunkan iqamat.
“Masih sempat ia mengikuti dua mata kuliah lagi di kampusnya, aku shalat dulu”, pikirnya.
Begitu masuk mesjid, satu shaf makmum yang shalat, tidak terisi penuh. Hanya lima jamaah. Salah satunya ada Andre, teman satu kost Abdullah.
Seusai salam dan berdoa Abdullah menyapa. “Loh, Ndre kok ada di sini?”
“Iya Dul, tadinya mo langsung kuliah, tapi pas lewat depan mesjid ini pas iqamat. Makanya langsung mampir dulu bentar”
“Ntar malam ada acara ngga?”
“Belum ada” jawab Andre singkat.
“Boleh ngga temenin aku mo ambil foto. Frame fotonya gede, karena kalau pake motor bahaya”
“Jam berapa?”
“Insya Allah jam tujuh, bada Maghrib” jelas Abdullah. Dan Andre mengangguk tanda setuju sambil meng-ok-kan dengan jempolnya.
“Trus ini mo lanjut kemana?” Abdullah balik bertanya.
“Mau pulang, mas. Barusan selesai kuliah”
“Ooh jadi kostan, biar aku antar”
“Kuliahmu jam berapa?” tanya Andre.
“Setengah jam lagi. Jam satu. ” Abdullah sambil melirik pada jamnya.
“Sudah. Kuliah saja dulu mas, kalau mas datang telat, rugi. Apalagi kalau sampai tidak datang” bujuk Andre.
“Yang penting kan absennya? Tak apalah telat, materi sebelumnya bisa belajar sendiri di rumah” sanggah Abdullah.
“Mas Dul, ilmu itu investasi. Investasi tidak melulu dengan materi, kita bisa membekalinya dengan ilmu. Mas Dul sudah bagus sekarang bisa shalat tepat waktu. Karena banyak keutamaannya. Semestinya ini jadi cermin buat kita bahkan umat muslim di dunia. Kalau ada orang yang tidak bisa tepat waktu, berarti ada sesuatu yang salah dengan shalatnya. Karena dia tidak bisa menghargai waktu. Dan tidak baik menunda waktu, malah jadi repot waktunya untuk mencari pinjaman materi yang tertinggal, fotocopy dan belajar lagi. Malah jadi habis nanti waktunya, kan?” Andre berdiri memberi senyum sambil menyeka wajahnya yang mulai berkeringat, karena panas yang menyengat. Lalu ia memberi kode telunjuknya untuk segera berangkat, “Ayo kuliah! Aku ikut sampai kampus saja. Dari kampus, biar lanjut pakai angkot”,
Andre mengajak Abdullah yang sudah siap dengan motornya. Kedua spion motor diaturnya. Pantulan wajah Andre ada di spion kaca.
“Diikat dulu helmmu, Ndre! Biar aman. Bukan alasan karena ada pak Polisi, itu sudah tidak jaman!” Abdullah kali ini yang mengingatkan Andre. Kali ini senyum bangga Andre sambil membantu Andre yang membalikkan motornya memutar haluan.
Ada perasaan lega setelah mampir di Mesjid Soedirman yang ada di pojok Jalan Pahlawan. Karena kewajiban shalat yang sudah ditunaikan. Ada kejutan yang tidak disadari Abdullah di sana. Ia dipertemukan dengan Andre, tetangga satu kost-nya. Tidak disangka pula rencana Abdullah untuk mengambil foto di studio sudah dimudahkan-Nya. Di mesjid itu pula Abdullah mendapat banyak nasehat yang menguatkan diri, dari Andre sahabatnya.
“Lihat Ndre, motor yang ada di depan kita!” teriak Abdullah di tengah kemacetan menjelang lampu lalu lintas yang masih merah.
“Pada mau kemana tuh mereka, bawa kipas angin. Barangkali rusak tuh kipasnya mo diservice”.
“Bukan, mereka itu kepanasan!”
“Kepanasan?” tanya Andre heran. Dan motor Abdullah perlahan mulai jalan melewati lampu pengatur yang masi hijau.
“Iya, jadi kalau di jalan kepanasan besok-besok bawa kipas angin aja. Tuh, kipasnya bisa muter, kan?” canda Abdullah pada Andre.
“Lho, kok bisa muter? Oiya ya, muternya karena tiupan angin. Hahahaha” derai tawa mereka pun mendinginkan suasana panas.
Malamnya, mereka sudah sampai di studio. Frame hitam minimalis membingkai foto. Abdullah senang dan bersyukur karyanya sudah siap untuk diberikan sebagai kado.
“Rencananya besok mau aku antar kado ini ke Tanjungsari. Kau ada waktu?”
“Jam berapa?” tanya Andre.
“Insya Allah besok jam delapan, ya?”
“Boleh. Sama siapa saja?”
“Nanti aku akan ajak Sidiq, Yamin dan Salman. Karena perjalanan kita ke Tanjungsari Sumedang bisa makan waktu dua jam perjalanan. Sidiq itu orangnya kocak, jadi kita bisa ada hiburan. Kalau Yamin, banyak ilmu untuk mempertebal iman”, Abdullah sambil mengambil posisi, dan membuka kardus berisi frame dengan desain foto puisi yang baru selesai dibuatnya.
“Lha, kalau Salman?”

“Kalau Salman, jiwanya petualang. Pulang nanti aku kontak semuanya. Kita berangkat jam delapan”.
Andre dengan seksama membaca memperhatikan puisi yang dibuat sahabatnya. Pelan-pelan ia baca puisinya :

Jiwa terisi beriring waktu penuh imaji
Indah terurai saat kumenyendiri berseri
Membayang kala malam datang menghampiri
Menjauh kala mentari terbangun dan mulai berdiri
Yang siap menyinari jalan kehidupan pagi terbalut sepi
Welas asih terpancar bak sinarannya
Alangkah merdu teriring kicau burung bercengkerama
Hari ini sang dewi menyambut bertambahnya usia
Yang tak goyah terus meraih cita dan cinta
Untuk seorang dan dirinya yang selalu setia
Dalam doa 'tuk adinda yang mengisi hari penuh pesona
Impian smoga kau gapai dan bahagia

“Mantap bener puisi orang jatuh cinta yang satu ini!” sanjung  Andre pada Abdullah.


[1] [HR. bukhari no. 3058]

No comments:

Post a Comment