Friday, December 4, 2015

Rumahku Surgaku



Tadi malam sebagian kota Jakarta baru saja diguyur hujan. Tidak lama, namun cukup membuat kesejukan di dalam kamar seluas 4 x 4 yang biasanya panas di kostan keluarga baru, Abdullah dan Raudhah. Barangkali masih terasa sejuk karena berada di pinggir wilayah Jakarta bagian timur. Dinginnya hawa itu membuat malas dan ingin terus berselimut sambil meluruskan badan dengan kaki terkujur.
Suara kokok ayam di Jakarta tidak ada bedanya dengan suara di Bandung. Meski hujan baru turun, ia tetap lantang menandai waktu subuh yang sebentar lagi akan tiba.
Abdullah segera bangun. Mengecup lembut kening istrinya yang masih tidur.
”Suara ayam itu membuatku terbangun.. saat ayam berkokok, ia melihat malaikat. Yuk ma, kita mohonkan karunia-Nya semoga kita senantiasa dalam bimbingan Alloh swt.”.
”Papa mau shalat?” tanya Raudhah yang masih tak tahan membuka kelopak matanya yang agak berat..
”Ya.. Papa mau shalat tahajud” jawab Abdullah singkat. Ia bisa memaklumi istrinya yang seharian kemaren mengerjakan pekerjaan rumah tangga, nyaris tanpa istirahat. Kemudian ia segera mengambil wudhu. Ia rasakan setiap tetesan yang mengenai tubuhnya yang agak kaku. Seolah mendinginkan dinding hati menyejukkan jiwanya yang ingin bermunajat kehadirat-Nya. Kemudian ia berdiri tegap menghadap kiblat di atas sajadah.
Azan subuh berkumandang. Abdullah bersiap berangkat ke mesjid. Dikecupkannya lagi dengan lembut ke kening Raudhah yang masih terbuai mimpi.
”Papa ke mesjid dulu Ma, mama tolong kuncikan pintu” bisik Abdullah.
Perlahan Raudhah bangun dari tidurnya. Mengantarkan suaminya yang sudah rapi dengan baju koko, bersarung dan berpeci ke depan pintu kamar.
Usai menjalankan shalat subuh, Raudhah menyiapkan sarapan. Menu telor mata sapilah yang terlintas diingatan.
Kompor listrik disiapkan, tapi kali ini lampu indikatornya tak menyala. Ada apa ya? Tanya Raudhah yang mencabut dan memasangnya kembali ke steker listrik berulang kali.
Di luar terdengar salam, ”Assalamualaikum.. ”.
Dan kewajiban Raudhah pun untuk menjawab salam, ”Waalaikum salam.warahmatullahi wabarakatuh[1].”
Begitu masuk, Abdullah takjub masih pagi sekali istrinya sudah sibuk bekerja menyiapkan sarapan untuknya.
Abdullah mengambil alat pembuka dan membongkar pemanas itu. Memperbaikinya. Namun usahanya sia-sia. Sesekali ia kibaskan ke wajahnya yang mulai berkeringat karena kompor listriknya belum menyala
“Nanti kalau rumah kita sudah ada dapur, kita beli kompor” kata Abdullah. ”Tadi papa sudah tahu kalau kompor ini mati waktu mau membuat air hangat”.
”Iya Pa ngga papa...  kalau memang ngga bisa diperbaiki, kita cari lagi nanti”.
”Ya Ma, sementara mama ngga usah masak dulu. Kita bisa beli nasi dan lauk di luar. Mama juga enak, ngga repot masak”
”Tapi Pa, beli makanan di luar jatuhnya lebih boros. Kita masih banyak keperluan”
Abdullah mulai menyadari kehidupan di rumah tangganya harus mulai dibangun. Ada hal baru seperti kebiasaan mengambil keputusan sendiri, mulai kini mesti dihindari. Dia tidak bisa mengikuti egonya lagi, karena pasti banyak hal nanti jalan hidup yang mereka lalui melibatkan pasangan hidup untuk senantiasa berdiskusi.
”Maafkan Papa, ya Ma...ngajak Mama pindah ke Jakarta tinggal di rumah kecil mungil bahkan sempit seperti ini” kata Abdullah.
”Ngga Papa Ma, Mama bersyukur bisa tinggal di kamar seperti ini. Yang paling penting juga kita masih diberikan kelapangan hati oleh Alloh dan kenikmatan bisa beribadah”.
”Siapa yang menciptakan kita, Pa?” tanya Raudhah.
”Alloh Ma..”.
”Siapa yang  menciptakan keperluan kita?” tanya Raudhah lagi.
”Alloh..”
”Siapa yang  menciptakan udara sehingga kita masih bisa bernafas”
”Alloh ..”
”Tubuh kita sebagian besar terdiri dari air. Siapa yang menciptakan air?”
”Alloh.. ”
”Alloh pasti akan memberikan rejeki, yang mempertemukan kita, yang menginginkan apa yang kita perlukan. Alloh Maha Tahu apa yang kita perlukan..” jelas Raudhah.
Subhanallah... kata-kata mama menyejukkan. ”Betul Ma... ini namanya kebahagian yang tidak bisa dibeli”.
”Yang membuat kita semakin bahagia adalah justru kita mendapatkan sesuatu itu menjadi jalan kita yang ditunjukkan dan dibimbing-Nya agar kita juga semakin dekat dengan Alloh”.
”Papa bersyukur semoga rumah tangga kita ini menjadikan kita senantiasa untuk terus mendekatkan kita kepada Alloh” Abdullah kemudian meraih Al Quran yang sudah melambaikan sejak subuh tadi. Dibukanya surat Al Kahfi 10 dan menjiwai arti yang berbunyi:
(Ingatlah) tatkala para pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa: "Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)."
Pagi hari dibulan keempat, tak seperti biasanya. Raudhah muntah-muntah. Abdullah segera membawanya ke dokter. Kabar yang tak diduga, hasil pemeriksaan dokter mengabarkan bahwa Raudhah sedang hamil. Abdullah bersyukur karena Alloh swt akan mengaruniai seorang anak, tentu hal ini tidak luput dari pengetahuan-Nya[2].
Beberapa bulan dilewati, mereka berencana untuk mempersiapkan kelahiran anak pertama nanti di Tanjungsari.
Di hari Jumat, Abdullah masih bekerja. Setelah shalat Jumat ada pesan singkat yang masuk di ponselnya.
“Papa, Alhamdulillah anak kita lahir. Perempuan.”
Alhamdulillah! Rasa syukurnya Abdullah pada Alloh yang telah memberikan anak perempuan yang sehat. Kabar ini pun diteruskan kepada kedua orangtuanya, mama dan abah yang ada di kalimantan dan saudara-saudaranya yang tinggal di kota yang berbeda.


[1] Arti salam: Semoga kedamaian dilimpahkan kepadamu diiringi dengan rahmat dari Allah dan juga barakah dari Allah untukmu.

[2] QS. Faathir [35] : 11

No comments:

Post a Comment