Friday, December 4, 2015

Wisuda



Sudah enam tahun berlalu Abdullah menapaki hidup sebagai Mahasiswa, akan tetapi belum ada tanda-tanda Abdullah menyelesaikan kuliahnya. Hingga pada suatu hari adiknya, Daud yang selisih satu tahun lebih muda umurnya menelpon.
“Mas, aku mau minta ijin…” kalimat Daud tertahan. Sepertinya dia ragu.
“Minta ijin apa?”Abdullah bertanya-tanya dalam hati. Tidak biasanya adiknya seperti ini kalau telpon. Biasanya ceritanya panjang dan penuh semangat.
“Kalau boleh, aku mau nikah duluan… Maaf ya Mas..”, Daud merasa sangat bersalah karena harus melangkahi pernikahan kakaknya.
Memang Daud sudah lebih dulu menyelesaikan kuliah dan sekarang sudah bekerja sebagai karyawan di salah satu bank swasta di kota Solo. Abdullah juga tahu persis kalau adiknya memang sudah memiliki calon isteri.
Abdullah menarik nafas panjang. Ia sebenarnya sudah menduga hal ini, Abdullah memaklumi dan hanya bisa pasrah dan ikhlas.
“Ga ada masalah kok, kamu boleh duluan menikah”, Abdullah menjawab dengan penuh yakin. Meski sebenarnya masih ada rasa yang terbersit, tapi entah apa… tak sanggup diungkapkannya.
Setelah menerima telpon itu, Abdullah mulai berpikir untuk sesegera mungkin menyelesaikan kuliahnya. Telepon itu merupakan suatu tamparan keras buat hidupnya. Selama ini, Abdullah terlalu terlena dengan pekerjaannya, ia membanggakan gajinya. Padahal semestinya, kewajibannya sekarang adalah menyelesaikan kuliah. Abdullah yang saat ini berusia 27  tahun seakan sadar, bahwa diusianya ini juga harus mulai memikirkan masa depannya untuk menikah.
“Aku tidak boleh terlena dan menyerah!” batinnya dalam hati. Ia tekadkan dengan bulat. Ia berniat untuk menyelesaikan kuliahnya dengan cepat.
Sejak saat itu, Abdullah mulai mengurus daftar ulang ke kampusnya, setelah cuti selama dua tahun. Kemudian Abdullah mulai aktif mengejar dan mengikuti beberapa sks yang masih tersisa, sembari mulai mengumpulkan bahan untuk tugas akhirnya.
“Mas Abdullah sekarang rajin kuliah” komentar bang Adi, penjual bubur yang mangkal di pengkolan dekat pintu keluar kampus.
“Ee bang Adi. Apa kabar, Bang?”
“Alhamdulillah baik..”
“Iya Bang, saya mesti menyelesaikan kuliah”
“Bagus itu! Memang harus fokus Bang kalau sekolah atau kuliah..”
“Fokus?” tanya Abdullah, “Iya bang Ya, sepertinya saya kurang fokus”.
Tiba-tiba di samping Abdullah sudah berdiri orang tua dengan pakaian berdebu dan agak hitam. Wajahnya berkeriput. Ia memegang mangkuk plastik dengan sedikit gemetar. Di dalamnya ada beberapa uang koin dan selembar ribuan. Menyodorkannya ke depan tempat Abdullah berdiri. Abdullah segera merogoh kantong celananya. Ada sisa koin kembalian dari tukang parkir di stasiun kemaren.
“Pak, mau makan?” tanya bang Adi kepada pengemis itu. Bang Adi tidak mendapat jawaban. Pak tua itu diam. Ia menyaksikan pak tua itu menelan air liurnya untuk membasahi kerongkongannya yang mungkin kering. Ia juga sempat melihat bapak itu membawa mangkok agak gemetar, pasti dia lapar.
“Ini Pak makan bubur dulu” kata bang Adi.
Pengemis itu dengan lahap menghabiskan bubur yang tersaji. Kemudian pengemis itu pamit pergi. Ucapan terima kasih dan doa dari pengemis membuat hati Abdullah menjadi tertegun. Jarang ia melihat pemandangan itu.
“Mas Abdullah, hidup itu cuman sebentar” bang Adi membuka diskusi lagi.
“Iya bang, kalau di Quran seperti disebutkan kita ini seperti dalam permainan dan senda gurau[1]” balas Abdullah. Bang Adi yang mendengar wajahnya menengadah ke atas menatap langit sambil menyimak  ayat yang baru saja disampaikan Abdullah dengan pesan yang dalam. Sesekali ia manggut-manggut sambil mengingat.
“Mas Abdullah pernah lihat pelangi, kan?” sambungnya. “Sebenarnya kitalah yang menggoreskan pelangi itu dalam kehidupan kita. Pelangi yang kita goreskan dengan beraneka warna. Nantinya kita akan melihat ketika sampai di ujung surga” komentar bang Adi singkat. Abdullah tercengang, kata-kata itu dalam mengandung banyak hikmah.
Subhanallah” kata Abdullah menatap bang Adi dengan mata membelalak lebih tajam.
“Iya bang, hidup itu penuh warna ya.. kita yang memilih goresan warna itu, mana yang akan membuat kita agar dapat lebih indah nantinya” lanjut bang Adi.
“Hmm.. “ Abdullah hanya bergumam dan membayangkan beberapa kejadian lalu yang pernah ia temui, termasuk satu kejadian bersama bang Adi. Abdullah cukup menyesali kenapa kesempatan untuk meggoreskan pelangi itu, disia-siakannya begitu saja.
“Fokus ya, Dul!” ingat bang Adi lagi. “Sebenarnya Alloh swt Yang Maha Penyayang sudah membimbing kita setiap hari. Seperti perintah shalat. Kalau kita bisa khusyu’ dalam shalat, Insya Allah kita bisa fokus dalam segala hal. Alloh pun menjanjikan kebaikan, kita dijauhkan dari perbuatan buruk dan mungkar[2]”.
Kalimat terakhir bang Adi membuat pikiran Abdullah semakin menerawang. Dia bercermin pada dirinya, apakah sudah menjalankan dengan baik dan benar? “Makasih bang, Insya Allah saya akan ingat nasehat abang” dilontarkan Abdullah sembari pamit pulang.
Dengan ikhtiar dan doa, setelah melewati masa sulit berjuang menyelesaikan kuliahnya, akhirnya Abdullah mampu menyelesaikan kuliahnya dalam kurun waktu satu tahun.
“Ma, Bah, bulan Desember bisa ke Bandung, nggak?” tanya Abdullah pada orang tuanya lewat telpon.
“Lho memangnya ada apa?” tanya Abah sedikit heran.
“Insya Allah Abdullah mau wisuda Bah…”jawabnya
“Subhanalloh… walhamdulillah…”, ibu Abdullah terdengar memanjatkan doa setengah berteriak kegirangan. Segera ibu Abdullah sujud syukur.
Linangan airmata Abdullah tumpah, terharu rasanya mendengar ibunya berteriak bahagia. Mungkin inilah hal yang ditunggu-tunggu Mama, pikir Abdullah.
Abdullah sangat bahagia, jauh di dasar hatinya ada rasa penyesalan, kenapa setelah waktu yang begitu lama kebahagiaan itu baru bisa Abdullah kabarkan… seandainya lebih cepat… seandainya jauh hari sebelumnya ia bertekat bulat… Tapi, nasi sudah menjadi bubur, semua sudah berlalu. Tak ada gunanya menyesal. Yang terpenting baginya, adalah ia merasa sudah menunaikan salah satu tugasnya. Semua demi masa depannya dan sekaligus sebagai kebanggaan bagi orangtuanya karena anaknya sudah bertitel sarjana.


[1] QS Muhammad [47]: 36
[2] QS Al Ankabuut [29]: 45

No comments:

Post a Comment