Sudah
enam tahun berlalu Abdullah menapaki hidup sebagai Mahasiswa, akan tetapi belum
ada tanda-tanda Abdullah menyelesaikan kuliahnya. Hingga pada suatu hari adiknya,
Daud yang selisih satu tahun lebih muda umurnya menelpon.
“Mas, aku mau minta ijin…”
kalimat Daud tertahan. Sepertinya dia ragu.
“Minta ijin apa?”Abdullah
bertanya-tanya dalam hati. Tidak biasanya adiknya seperti ini kalau telpon.
Biasanya ceritanya panjang dan penuh semangat.
“Kalau
boleh, aku mau nikah duluan… Maaf ya Mas..”, Daud merasa sangat bersalah karena
harus melangkahi pernikahan kakaknya.
Memang
Daud sudah lebih dulu menyelesaikan kuliah dan sekarang sudah bekerja sebagai
karyawan di salah satu bank swasta di kota Solo. Abdullah juga tahu persis
kalau adiknya memang sudah memiliki calon isteri.
Abdullah
menarik nafas panjang. Ia sebenarnya sudah menduga hal ini, Abdullah memaklumi
dan hanya bisa pasrah dan ikhlas.
“Ga ada
masalah kok, kamu boleh duluan menikah”, Abdullah menjawab dengan penuh yakin.
Meski sebenarnya masih ada rasa yang terbersit, tapi entah apa… tak sanggup
diungkapkannya.
Setelah
menerima telpon itu, Abdullah mulai berpikir untuk sesegera mungkin
menyelesaikan kuliahnya. Telepon itu merupakan suatu tamparan keras buat
hidupnya. Selama ini, Abdullah terlalu terlena dengan pekerjaannya, ia
membanggakan gajinya. Padahal semestinya, kewajibannya sekarang adalah menyelesaikan
kuliah. Abdullah yang saat ini berusia 27
tahun seakan sadar, bahwa diusianya ini juga harus mulai memikirkan masa
depannya untuk menikah.
“Aku
tidak boleh terlena dan menyerah!” batinnya dalam hati. Ia tekadkan dengan
bulat. Ia berniat untuk menyelesaikan kuliahnya dengan cepat.
Sejak
saat itu, Abdullah mulai mengurus daftar ulang ke kampusnya, setelah cuti
selama dua tahun. Kemudian Abdullah mulai aktif mengejar dan mengikuti beberapa
sks yang masih tersisa, sembari mulai mengumpulkan bahan untuk tugas akhirnya.
“Mas
Abdullah sekarang rajin kuliah” komentar bang Adi, penjual bubur yang mangkal
di pengkolan dekat pintu keluar kampus.
“Ee
bang Adi. Apa kabar, Bang?”
“Alhamdulillah
baik..”
“Iya
Bang, saya mesti menyelesaikan kuliah”
“Bagus
itu! Memang harus fokus Bang kalau sekolah atau kuliah..”
“Fokus?”
tanya Abdullah, “Iya bang Ya, sepertinya saya kurang fokus”.
Tiba-tiba
di samping Abdullah sudah berdiri orang tua dengan pakaian berdebu dan agak
hitam. Wajahnya berkeriput. Ia memegang mangkuk plastik dengan sedikit gemetar.
Di dalamnya ada beberapa uang koin dan selembar ribuan. Menyodorkannya ke depan
tempat Abdullah berdiri. Abdullah segera merogoh kantong celananya. Ada sisa koin kembalian dari tukang parkir di stasiun
kemaren.
“Pak, mau makan?” tanya bang
Adi kepada pengemis itu. Bang Adi tidak mendapat jawaban. Pak tua itu diam. Ia
menyaksikan pak tua itu menelan air liurnya untuk membasahi kerongkongannya
yang mungkin kering. Ia juga sempat melihat bapak itu membawa mangkok agak
gemetar, pasti dia lapar.
“Ini
Pak makan bubur dulu” kata bang Adi.
Pengemis
itu dengan lahap menghabiskan bubur yang tersaji. Kemudian pengemis itu pamit
pergi. Ucapan terima kasih dan doa dari pengemis membuat hati Abdullah menjadi
tertegun. Jarang
ia melihat pemandangan itu.
“Mas Abdullah, hidup itu
cuman sebentar” bang Adi membuka diskusi lagi.
“Iya bang, kalau di Quran
seperti disebutkan kita ini seperti dalam permainan dan senda gurau[1]”
balas Abdullah. Bang Adi yang mendengar wajahnya menengadah ke atas menatap
langit sambil menyimak ayat yang baru
saja disampaikan Abdullah dengan pesan yang dalam. Sesekali ia manggut-manggut
sambil mengingat.
“Mas Abdullah pernah lihat
pelangi, kan?”
sambungnya. “Sebenarnya kitalah yang menggoreskan pelangi itu dalam kehidupan
kita. Pelangi yang kita goreskan dengan beraneka warna. Nantinya kita akan
melihat ketika sampai di ujung surga” komentar bang Adi singkat. Abdullah
tercengang, kata-kata itu dalam mengandung banyak hikmah.
“Subhanallah” kata Abdullah menatap bang Adi dengan mata membelalak
lebih tajam.
“Iya bang, hidup itu penuh
warna ya.. kita yang memilih goresan warna itu, mana yang akan membuat kita
agar dapat lebih indah nantinya” lanjut bang Adi.
“Hmm.. “ Abdullah hanya
bergumam dan membayangkan beberapa kejadian lalu yang pernah ia temui, termasuk
satu kejadian bersama bang Adi. Abdullah cukup menyesali kenapa kesempatan
untuk meggoreskan pelangi itu, disia-siakannya begitu saja.
“Fokus ya, Dul!” ingat bang
Adi lagi. “Sebenarnya Alloh swt Yang Maha Penyayang sudah membimbing kita
setiap hari. Seperti perintah shalat. Kalau kita bisa khusyu’ dalam shalat,
Insya Allah kita bisa fokus dalam segala hal. Alloh
pun menjanjikan kebaikan, kita dijauhkan dari perbuatan buruk dan mungkar[2]”.
Kalimat terakhir bang Adi
membuat pikiran Abdullah semakin menerawang. Dia
bercermin pada dirinya, apakah sudah menjalankan dengan baik dan benar? “Makasih bang, Insya Allah
saya akan ingat nasehat abang” dilontarkan Abdullah sembari pamit pulang.
Dengan ikhtiar dan doa,
setelah melewati masa sulit berjuang menyelesaikan kuliahnya, akhirnya Abdullah
mampu menyelesaikan kuliahnya dalam kurun waktu satu tahun.
“Ma, Bah, bulan Desember
bisa ke Bandung,
nggak?” tanya Abdullah pada orang
tuanya lewat telpon.
“Lho memangnya ada apa?”
tanya Abah sedikit heran.
“Insya Allah Abdullah mau
wisuda Bah…”jawabnya
“Subhanalloh…
walhamdulillah…”, ibu Abdullah terdengar memanjatkan doa setengah berteriak
kegirangan. Segera ibu Abdullah sujud syukur.
Linangan airmata Abdullah
tumpah, terharu rasanya mendengar ibunya berteriak bahagia. Mungkin inilah hal
yang ditunggu-tunggu Mama, pikir Abdullah.
Abdullah sangat bahagia,
jauh di dasar hatinya ada rasa penyesalan, kenapa setelah waktu yang begitu
lama kebahagiaan itu baru bisa Abdullah kabarkan… seandainya lebih cepat…
seandainya jauh hari sebelumnya ia bertekat bulat… Tapi, nasi sudah menjadi
bubur, semua sudah berlalu. Tak ada gunanya menyesal. Yang terpenting baginya,
adalah ia merasa sudah menunaikan salah satu tugasnya. Semua demi masa depannya
dan sekaligus sebagai kebanggaan bagi orangtuanya karena anaknya sudah bertitel
sarjana.
No comments:
Post a Comment