Friday, December 4, 2015

Bertemu Bidadari



“Apa besok kita ke rumah Mas Dian ya Pa? kita bawain susu. Mumpung libur hari minggu ini pastinya kan, ngga kerja” tanya Raudhah pada suaminya yang sedang asik membuat aplikasi mobile di laptopnya.
“Boleh Ma. Nanti Pa sms dulu ya, barangkali mereka sekeluarga juga sedang liburan” jawab Abdullah.
Esoknya, setelah mendapat kepastian bahwa mas Dian dan keluarga ada di rumah, segera Abdullah dan istrinya berangkat menuju rumah kakak sepupunya itu. Mas Dian menyambut gembira kedatangan Abdullah dan Raudhah. Cerita 28 kali miss call, masih tetap jadi berita hangat.
"Abdullah, gimana tuh ceritanya bisa ketemu dengan istri mas Abdullah?” tanya istri mas Dian pada Abdullah. Abdullah pun mulai berkisah.
Pada masa kuliah di Bandung, kami kuliah satu kampus di ITENAS.
Kebetulan kost-kostan kami satu gang, namanya gang Cinta bin Cikutra.
Kami seringkali bertemu saat jam makan di warung yang terkenal sebutan Babeh atau warung bu Oyo. Seringnya bertemu kalau makan siang dan malam. Kalau pagi lebih sering ngga sarapan. Dulu mikirnya biar lebih hemat, padahal setelah tahu betapa pentingnya mengisi asupan di pagi hari, ada hak tubuh yang harus kita berikan sebagai bekal energi sampai siang hari. Kecuali kalau memang kita berpuasa. Itu lain cerita. Badan dan seluruh anggota tubuh ini sudah bisa mengondisikan karena sudah datang dari apa yang diniatkan. Balik ke bahasan ke tempat makan. Tapi, pernah satu ketika di musim libur semesteran, Raudhah tidak menampakkan batang hidungnya, Abdullah tentu saja menjadi penasaran. Sampai beberapa hari. Sempat Abdullah menyangka Raudhah sudah pindah.
Di satu kesempatan sesudah matahari mulai tergelincir, Abdullah melihat Raudhah yang terlihat di depan pintu kamar kostnya. Kesempatan emas itu Abdullah manfaatkan. Ia memberanikan diri untuk menanyakan  nomor telpon rumahnya. Awalnya Raudhah menolak, namun dengan sedikit rayuan akhirnya diterimalah sebuah nomor tanpa ditulis di kertas. Abdullah dengan sekuat tenaga menghafalnya, padahal jarang sekali ia bisa mengingat sekali sebutan nomor telpon dengan tujuh digit, nomor rumah Raudhah. Bergegas ia mencari kertas dan ia tuliskan di secarik kertas itu, disimpannya baik-baik di tempat teraman di dompetnya. Gadis itu mengaku berasal dari Tanjungsari, sebuah kota kecil di Sumedang.
Abdullah kuliah di Bandung, awalnya ia tinggal bersama pakdenya. Karena jarak kampus yang terlalu jauh ia memutuskan untuk mencari tempat kost terdekat.
Berhari-hari  ia memikirkan Raudhah, bayangan akan kemolekan wajah berjilbab yang dikenakannya serasa menyejukkan hatinya. Ia ingat pesan nabi akan hal kita menikahi wanita karena empat hal, yaitu karena hartanya, keturunannya, kecantikannya atau karena agamanya[1].
“Baiknya kau nikahi wanita itu karena agamanya”, batinnya. “Baiknya kau nikahi wanita itu karena agamanya” diulangnya sampai tiga kali.
Ia pun mengambil air wudhu, kemudian menjalankan shalat istikharah[2] dua rakaat. Entah kenapa ia bertekad untuk lebih mengenalnya. Ada rasa keteduhan yang didambakannya. Abdullah berdoa agar apa yang menjadi pilihannya diberikan tuntunan akan kemudahan dan keberkahan oleh Alloh yang menggenggam setiap urusan.
Jarum panjang  jam sudah menyusuri satu angka, tak terasa lima menit lamunanku melukis wajah Raudhah di sana, di jam dinding yang ada di kamar kostku. Tadinya aku mencoba jadi penerka, mereka-reka pertanyaan sendiri jika berangkat setelah Ashar ini, ke Tanjungsari bisa sampai jam berapa, ya?  Padahal, posisi Tanjungsari tempat tinggal Raudhah, belum tahu dimana. Parahnya lagi, alamat persisnya pun, aku juga belum tahu dimana. “Ya Allah, aku mohon bimbingan-Mu!” helaan nafas terakhir tiba-tiba terlontar begitu saja dari bibir. Pasrah. Memang begitulah adanya, seringkali kepasrahan manusia menghadirkan doa tulus kepada Sang Pencipta. Jika manusia dalam kebahagiaan, banyaknya lupa!
Entah kenapa, sorot mataku tajam menatap buku kuning tebal di rak kayu yang ada di samping kasur. Kugapai buku itu. Terselip beberapa brosur dan guntingan koran. Guntingan satu halaman itu dipenuhi iklan baris. Ada coretan dari spidol berwana merah melingkar di satu iklan bertema: KURSUS. Aha! Ini iklan baris pertamaku dulu, yang pernah mencoba mempromosikan diri sebagai guru privat dengan materi internet.
Iklan itu kupasang di koran nomor wahid di Bandung, Pikiran Rakyat. Beberapa penelpon menghubungiku. Yang paling berkesan adalah murid pertamaku berusia 65 tahun, ia veteran dari Bandung, pak Agus namanya. Sebelum bertemu,  awalnya dari ujung telpon kukira ia masih muda, bapak-bapak seusia 30 tahunan. Ee, ternyata kakek-kakek yang menjemputku dengan mobil jip-nya, hahahaha. Lho, kok dijemput? Iya, dulu memang atas permintaan pak Aguslah aku dijemput.  Kebetulan ada satu urusan katanya. Lembaran demi lembaran buku kuning tebal berjudul Yellow Page kubuka satu per satu.
“Ya Allah mungkinkah aku cari nama dan nomor telpon yang pernah Raudhah beri padaku?” kepasrahan dengan sebait doa, terlontar lagi di dalam hatiku. Jari telunjuk ini mulai membimbing sorot tajam bola mataku, mencocokkan nomor telpon yang pernah kucatat di selembar kertas. Semangatku kembang-kempis ketika menemukan beberapa nomor yang mirip, tapi berbeda satu di digit terakhir.
“Alhamdulillah Ya Allah!” Rupanya Allah mengabulkan doaku, ada satu deretan nama lengkap dengan alamat rumahnya cocok dengan nomor telpon yang pernah Raudhah berikan padaku.
Setelah mandi, selanjutnya pilih-pilih baju yang cocok. Begitu sudah siap, semprotkan parfum di sana, di sini, di kanan dan di kiri, agar dandanan yang sudah rapi ini tambah wangi.
Perjalanan ke Tanjungsari boleh dibilang lancar, nyaris tidak ada kemacetan.
Jalan berkelok-kelok ini baru pertama kali kulalui sendiri dengan mobil  Volkswagen. Seringkali orang menyebutnya mobil VW kodok, entah kenapa bisa disebut kodok, apakah karena mirip kodok? Ngga banget! Padahal awal rilisnya mobil vw ini di tahun 1938 yang konsepnya adalah lebah, karenanya sebagian menyebutnya VW beetle. Hebatnya, pada tahun 2011 terciptalaah generasi ketiga mobil ini yang dirancang oleh orang Indonesia bernama Chris Lesmana. Mobil VW itu adalah hasil sketsanya selama empat tahunnya, seorang desainer Indonesia yang tinggal di Jerman. Ia mengonsep ulang mobil impiannya. Dan kini menjadi kenyataan sebagai trend Beetle di tahun 2012. 
Meski mobil ini tua, tapi cukup lincah meliuk di tanjakan mulai Cikuda. Biar ngga bosan, kusetel kaset yang ada di tape mobil, sambil menikmati segarnya udara pegunungan sebelum sampai di Tanjungsari. Ada beberapa kaset siraman rohani asal Bandung dan nasyid. Kupilih salah satu kaset bertajuk The Fikr yang menemani perjalanan ini, kualihkan perhatian ini agar wajah sang bidadari tidak membayangi, tapi tetap saja bayang raut wajahnya senantiasa mengiringi, sambil nyetir senyum-senyum sendiri.
Mobil ini sebenarnya titipan dari Abah -panggilan akrab ayahku- dan Mama yang kini tinggal di Kalimantan. Mereka  sepakat untuk menitipkan mobil ini padaku agar mudah pergi kesana dan kemari karena di Bandung seringkali hujan. Tapi aku lebih suka naik motor apalagi sepeda. Badan jadi sehat, kaki jadi kuat dan bikin otak jadi smart.
Akhirnya kutemui tulisan “Pasar Tanjungsari”. Sedikit lega hatiku sudah sampai di daerah yang kucari. Sebentar lagi akan kutemui alamat rumah yang kucari buku telpon tadi, pikirku.
Dua orang yang sempat kutanya. Begitu sampai pada jalan sesuai arahan, kini waktunya menyusuri nomor rumahnya. Pedal gas kukurangi tekanannya, beberapa rumah terlihat sepi. Tidak ada satu orang pun yang bisa kutanya. Begitu melewati rumah yang berteras, ada seorang gadis berjilbab putih, dan sontak aku dengannya kaget sama-sama menatap! Rupanya Raudhah sedang santai membaca sebuah majalah wanita sore itu di teras rumahnya. Mobil tidak aku hentikan, sambil pura-pura lewat dan melambai  meneruskan perjalanan sambil menahan kaget bercampur gembira, karena rumah sang bidadari rupanya sudah kujumpai di depan mata. Begitu gembiranya ruang hati ini, berbunga-bunga dan senyum-senyum sendiri.
Beberapa ratus meter dari rumah Raudhah, di sebelah kiri jalan ada tanah lapang. Sebesar setengah lapangan bola, lengkap dengan tiang bambu dan anyaman yang terbuat dari tali rafia sebagai gawangnya.
“Anak-anak di sini kreatif! Kepikir ya bikin gawang pake tali rafia” ungkapku sambil memutar setir ke arah lapang. Setelah mobil berhaluan balik, aku menghentikannya, menarik nafas, kemudian mengucap, “Bismillahirrahmanirrahim…” tentu semua ini atas kehendaknya, mengharap rencana selanjutnya pun bisa berjalan lancar.
“Assalamualaikum, Bu!” rupanya ibu Raudhah yang menyambutku.
“Waalaikum salam.. mari masuk, Nak!” kata ibu Raudhah mempersilakan duduk. Kududuk di sebuah kursi kayu di ruang tamu. Ada bantal yang kupeluk karena suhu udara mulai menusuk tulangku.
“Niat dan nekat, nih Ma!”, kata Raudhah sambil keluar membawakan dua cangkir teh hangat. Cuaca di Tanjungsari memang sejuk dan dingin. Alhamdulillah, bisa berjumpa bidadari sore ini, batinku.


[1] HR:bukhari || Kitab:Nikah || No: 4700
[2] Shalat dua rakaat untuk memohon kepada Allah ketika seseorang ragu atas dua pilihan atau perkara.

No comments:

Post a Comment