“Apa besok kita
ke rumah Mas Dian ya Pa? kita bawain susu. Mumpung libur hari minggu ini
pastinya kan,
ngga kerja” tanya Raudhah pada suaminya yang sedang asik membuat aplikasi
mobile di laptopnya.
“Boleh Ma. Nanti Pa
sms dulu ya, barangkali mereka sekeluarga juga sedang liburan” jawab Abdullah.
Esoknya, setelah
mendapat kepastian bahwa mas Dian dan keluarga ada di rumah, segera Abdullah
dan istrinya berangkat menuju rumah kakak sepupunya itu. Mas Dian menyambut
gembira kedatangan Abdullah dan Raudhah. Cerita 28 kali miss call, masih tetap
jadi berita hangat.
"Abdullah,
gimana tuh ceritanya bisa ketemu dengan istri mas Abdullah?” tanya istri mas
Dian pada Abdullah. Abdullah pun mulai berkisah.
Pada masa kuliah
di Bandung,
kami kuliah satu kampus di ITENAS.
Kebetulan kost-kostan kami satu gang, namanya gang Cinta bin Cikutra.
Kebetulan kost-kostan kami satu gang, namanya gang Cinta bin Cikutra.
Kami seringkali bertemu saat jam makan di warung
yang terkenal sebutan Babeh atau warung bu Oyo. Seringnya bertemu kalau makan
siang dan malam. Kalau pagi lebih sering ngga sarapan. Dulu mikirnya biar lebih
hemat, padahal setelah tahu betapa pentingnya mengisi asupan di pagi hari, ada
hak tubuh yang harus kita berikan sebagai bekal energi sampai siang hari.
Kecuali kalau memang kita berpuasa. Itu lain cerita. Badan dan seluruh anggota
tubuh ini sudah bisa mengondisikan karena sudah datang dari apa yang diniatkan.
Balik ke bahasan ke tempat makan. Tapi, pernah satu ketika di musim libur
semesteran, Raudhah tidak menampakkan batang hidungnya, Abdullah tentu saja
menjadi penasaran. Sampai beberapa hari. Sempat Abdullah menyangka Raudhah
sudah pindah.
Di satu kesempatan sesudah matahari mulai
tergelincir, Abdullah melihat Raudhah yang terlihat di depan pintu kamar
kostnya. Kesempatan emas itu Abdullah manfaatkan. Ia memberanikan diri untuk
menanyakan nomor telpon rumahnya. Awalnya Raudhah menolak, namun dengan
sedikit rayuan akhirnya diterimalah sebuah nomor tanpa ditulis di kertas.
Abdullah dengan sekuat tenaga menghafalnya, padahal jarang sekali ia bisa
mengingat sekali sebutan nomor telpon dengan tujuh digit, nomor rumah Raudhah.
Bergegas ia mencari kertas dan ia tuliskan di secarik kertas itu, disimpannya
baik-baik di tempat teraman di dompetnya. Gadis itu mengaku berasal dari
Tanjungsari, sebuah kota kecil di Sumedang.
Abdullah kuliah
di Bandung,
awalnya ia tinggal bersama pakdenya. Karena jarak kampus yang terlalu jauh ia memutuskan untuk mencari tempat
kost terdekat.
Berhari-hari
ia memikirkan Raudhah, bayangan akan kemolekan wajah berjilbab yang
dikenakannya serasa menyejukkan hatinya. Ia ingat pesan nabi akan hal kita
menikahi wanita karena empat hal, yaitu karena hartanya, keturunannya, kecantikannya
atau karena agamanya[1].
“Baiknya kau
nikahi wanita itu karena agamanya”, batinnya. “Baiknya kau nikahi wanita itu
karena agamanya” diulangnya sampai tiga kali.
Ia pun mengambil
air wudhu, kemudian menjalankan shalat istikharah[2]
dua rakaat. Entah kenapa ia bertekad untuk lebih mengenalnya. Ada rasa keteduhan yang didambakannya.
Abdullah berdoa agar apa yang menjadi pilihannya diberikan tuntunan akan
kemudahan dan keberkahan oleh Alloh yang menggenggam setiap urusan.
Jarum
panjang jam sudah menyusuri satu angka,
tak terasa lima menit lamunanku melukis wajah
Raudhah di sana,
di jam dinding yang ada di kamar kostku. Tadinya aku mencoba jadi penerka,
mereka-reka pertanyaan sendiri jika berangkat setelah Ashar ini, ke Tanjungsari
bisa sampai jam berapa, ya? Padahal,
posisi Tanjungsari tempat tinggal Raudhah, belum tahu dimana. Parahnya lagi,
alamat persisnya pun, aku juga belum tahu dimana. “Ya Allah, aku mohon
bimbingan-Mu!” helaan nafas terakhir tiba-tiba terlontar begitu saja dari
bibir. Pasrah. Memang begitulah adanya, seringkali kepasrahan manusia
menghadirkan doa tulus kepada Sang Pencipta. Jika manusia dalam kebahagiaan,
banyaknya lupa!
Entah kenapa,
sorot mataku tajam menatap buku kuning tebal di rak kayu yang ada di samping
kasur. Kugapai buku itu. Terselip
beberapa brosur dan guntingan koran. Guntingan satu halaman itu dipenuhi iklan
baris. Ada coretan dari spidol berwana merah melingkar di satu iklan bertema:
KURSUS. Aha! Ini iklan baris pertamaku dulu, yang pernah mencoba mempromosikan
diri sebagai guru privat dengan materi internet.
Iklan itu kupasang di koran nomor wahid di
Bandung, Pikiran Rakyat. Beberapa penelpon menghubungiku. Yang paling berkesan
adalah murid pertamaku berusia 65 tahun, ia veteran dari Bandung, pak Agus
namanya. Sebelum bertemu, awalnya dari
ujung telpon kukira ia masih muda, bapak-bapak seusia 30 tahunan. Ee, ternyata
kakek-kakek yang menjemputku dengan mobil jip-nya, hahahaha. Lho, kok dijemput?
Iya, dulu memang atas permintaan pak Aguslah aku dijemput. Kebetulan ada satu urusan katanya.
Lembaran demi lembaran buku kuning tebal berjudul Yellow Page kubuka satu per
satu.
“Ya Allah
mungkinkah aku cari nama dan nomor telpon yang pernah Raudhah beri padaku?”
kepasrahan dengan sebait doa, terlontar lagi di dalam hatiku. Jari telunjuk ini
mulai membimbing sorot tajam bola mataku, mencocokkan nomor telpon yang pernah
kucatat di selembar kertas. Semangatku kembang-kempis ketika menemukan beberapa
nomor yang mirip, tapi berbeda satu di digit terakhir.
“Alhamdulillah
Ya Allah!” Rupanya Allah mengabulkan doaku, ada satu deretan nama lengkap
dengan alamat rumahnya cocok dengan nomor telpon yang pernah Raudhah berikan
padaku.
Setelah mandi, selanjutnya pilih-pilih baju yang cocok.
Begitu sudah siap, semprotkan parfum di sana,
di sini, di kanan dan di kiri, agar dandanan yang sudah rapi ini tambah wangi.
Perjalanan ke
Tanjungsari boleh dibilang lancar, nyaris tidak ada kemacetan.
Jalan berkelok-kelok ini baru pertama kali kulalui
sendiri dengan mobil Volkswagen.
Seringkali orang menyebutnya mobil VW kodok, entah kenapa bisa disebut kodok,
apakah karena mirip kodok? Ngga banget! Padahal awal rilisnya mobil vw ini di
tahun 1938 yang konsepnya adalah lebah, karenanya sebagian menyebutnya VW
beetle. Hebatnya, pada tahun 2011 terciptalaah generasi ketiga mobil ini
yang dirancang oleh orang Indonesia
bernama Chris Lesmana. Mobil VW itu adalah hasil sketsanya selama empat
tahunnya, seorang desainer Indonesia
yang tinggal di Jerman. Ia mengonsep
ulang mobil impiannya. Dan kini menjadi kenyataan sebagai trend Beetle di tahun
2012.
Meski mobil ini tua, tapi cukup lincah meliuk di
tanjakan mulai Cikuda. Biar ngga bosan, kusetel kaset yang ada di tape mobil,
sambil menikmati segarnya udara pegunungan sebelum sampai di Tanjungsari. Ada
beberapa kaset siraman rohani asal Bandung dan nasyid. Kupilih salah satu kaset
bertajuk The Fikr yang menemani perjalanan ini,
kualihkan perhatian ini agar wajah sang bidadari tidak membayangi, tapi tetap
saja bayang raut wajahnya senantiasa mengiringi, sambil nyetir senyum-senyum
sendiri.
Mobil ini sebenarnya titipan dari Abah -panggilan
akrab ayahku- dan Mama yang kini tinggal di Kalimantan. Mereka sepakat untuk menitipkan mobil ini padaku
agar mudah pergi kesana dan kemari karena di Bandung seringkali hujan. Tapi aku
lebih suka naik motor apalagi sepeda. Badan jadi sehat, kaki jadi kuat dan
bikin otak jadi smart.
Akhirnya kutemui
tulisan “Pasar Tanjungsari”. Sedikit lega hatiku sudah sampai di daerah yang
kucari. Sebentar lagi akan kutemui alamat rumah yang kucari buku telpon tadi,
pikirku.
Dua orang yang
sempat kutanya. Begitu sampai pada jalan sesuai arahan, kini waktunya menyusuri
nomor rumahnya. Pedal gas kukurangi tekanannya, beberapa rumah terlihat sepi.
Tidak ada satu orang pun yang bisa kutanya. Begitu melewati rumah yang
berteras, ada seorang gadis berjilbab putih, dan sontak aku dengannya kaget
sama-sama menatap! Rupanya Raudhah sedang santai membaca sebuah majalah wanita
sore itu di teras rumahnya. Mobil tidak aku hentikan, sambil pura-pura lewat
dan melambai meneruskan perjalanan
sambil menahan kaget bercampur gembira, karena rumah sang bidadari rupanya
sudah kujumpai di depan mata. Begitu gembiranya ruang hati ini, berbunga-bunga
dan senyum-senyum sendiri.
Beberapa ratus
meter dari rumah Raudhah, di sebelah kiri jalan ada tanah lapang. Sebesar
setengah lapangan bola, lengkap dengan tiang bambu dan anyaman yang terbuat
dari tali rafia sebagai gawangnya.
“Anak-anak di sini kreatif! Kepikir ya bikin
gawang pake tali rafia” ungkapku sambil memutar setir ke arah lapang. Setelah
mobil berhaluan balik, aku menghentikannya, menarik nafas, kemudian mengucap,
“Bismillahirrahmanirrahim…” tentu semua ini atas kehendaknya, mengharap rencana
selanjutnya pun bisa berjalan lancar.
“Assalamualaikum, Bu!” rupanya ibu Raudhah yang
menyambutku.
“Waalaikum salam.. mari masuk, Nak!” kata ibu
Raudhah mempersilakan duduk. Kududuk di sebuah kursi kayu di ruang tamu. Ada
bantal yang kupeluk karena suhu udara mulai menusuk tulangku.
“Niat dan nekat, nih Ma!”, kata Raudhah sambil keluar membawakan dua
cangkir teh hangat. Cuaca di Tanjungsari memang sejuk dan dingin.
Alhamdulillah, bisa berjumpa bidadari sore ini, batinku.
No comments:
Post a Comment