Setelah wisuda, Abdullah mendapat tawaran kerja
dari Sidiq temannya yang kocak yang sudah lebih dulu lulus kuliah dibanding
Abdullah. Dengan penuh semangat Abdullah menerima tawaran kerja di salah satu
perusahaan swasta terkenal di Jakarta. Seperti biasa, Abdullah tetap mengikuti seleksi karyawan, mulai dari
interview dan psikotest. Tidak ada kolusi dan campur tangan Sidiq.
“Aku yakin engkau bisa lulus tanpa aku bantu” ucap
Sidiq.
“Insya Allah.
Terima kasih, Diq?” balas Abdullah
meyakinkan.
Seminggu
kemudian, di kost Abdullah di Bandung, Yamin
bertandang ke kost Abdullah. Ia sudah duduk di samping kasur temannya
itu. Sementara Abdullah asik duduk di depan komputer. Di layar monitornya,
Yamin sempat memperhatikan ada yang dicari oleh Abdullah di mesin pencari
Google. Beberapa kali daftar halaman pencarian ditampilkan, tetapi temannya itu
masih mencoba dengan kata kunci lain yang berhubungan.
“Dul, tadi aku beli minum dan cemilan” Yamin
menawarkan.
Abdullah hanya melirik dan mengangguk kecil,
“Sebentar ...”.
Yamin membuka Al Quran kecil dari sakunya. Dan
mulai membacanya dengan suara merdu dan syahdu. Tiga lembar bacaan Yamin
diakhiri setelah mendengar Azan.
“Abdullah, kita shalat dulu, yuk!” ajak Yamin.
“Di sini saja ya, aku lagi menunggu teman” rayu
Abdullah sambil menuju ke tempat wudhu.
Sore itu sebelum shalat Ashar dimulai, tak biasanya Yamin berdiri di
samping kanan imam, setelah membentangkan sajadah berwarna biru.
"Abdullah, kau kan laki-laki, karena kita
sekarang ini akan shalat berjamaah, kau yang menjadi imam, ya", ungkap
Yamin. Mulanya Abdullah menggeleng enggan. ”Ayo, kita ditakdirkan Alloh untuk
bisa menjadi imam. Kalau nanti-nanti kapan kau akan belajarnya?”. Akhirnya ia
menerima saran Yamin yang memotivasi dirinya untuk belajar jadi imam.
Setelah shalat
Ashar ditunaikan, suara motor berhenti di depan kost Abdullah.
“Pos.. Pos!!” kata tukang pos yang mengendarai motor
berwarna jingga.
“Terima kasih pak” kata Abdullah setelah menerima
amplop yang ditujukannya.
“Sebentar pak!” kata Yamin dari dalam kamar.
Abdullah sempat heran.
“Ini Pak, ada minuman dan cemilan” sahut Yamin
yang tiba-tiba sudah berada di samping Abdullah membawakan bungkusan.
Abdullah teringat dengan kejadian beberapa waktu
lalu, ketika pulang dari kampus bertemu dengan bang Adi si penjual bubur.
“Warna untuk pelangi yang baru kau goreskan itu
begitu indah, Min!” bisiknya dalam hati. Abdullah kemudian membuka amplop itu.
Ia membaca sebuah surat yang berkop dari perusahaan susu. “Alhamdulillah..”,
Abdullah mendapatkan pekerjaan itu. Betapa bersyukurnya Abdullah setelah
menerima surat diterimanya ia di perusahaan baru”.
Hari-hari Abdullah terasa begitu lengkap dengan
hadirnya seorang wanita yang Ia harapkan bisa menjadi pendampingnya. Raudhah
namanya. Raudhah masih menempuh studi S-1 semester 4 di kampus yang sama dengan
Abdullah. Abdullah harus sabar menunggu setidaknya hingga Raudhah menyelesaikan
studinya. Sepanjang penantiannya, Abdullah bekerja di Jakarta, sebulan sekali
Abdullah menyempatkan diri ke Bandung untuk mengunjungi Raudhah.
Dua tahun sudah berlalu, Abdullah masih disibukkan
dengan pekerjaannya. Sering
kali Abdullah melakukan perjalanan kerja ke luar kota mengunjungi kantor cabang
untuk memberikan training.
“Apa
kabar Mas… Lagi sibuk ya… Alhamdulillah, minggu depan aku yudisium. Doain
semua lancar ya..”
Siang itu,
Abdullah menerima pesan singkat dari Raudhah. Abdullah sangat senang dan tak
henti mengucap syukur. Dalam hatinya Abdullah berguman, inilah saatnya
merencanakan masa depan. Sebelumnya, Raudhah dan Abdullah memang sudah beberapa
kali membicarakan rencana masa depan mereka. Mereka sepakat untuk melangsungkan
pernikahan setelah Raudhah menyelesaikan kuliahnya. Abdullah sudah pernah
menyampaikan niatnya pada orangtuanya dan juga pada orangtua Raudhah.
Malam harinya
Abdullah menelepon orangtuanya.
“Bah, Ma, Saya
mau minta doa restu” Ujar Abdullah dengan penuh keyakinan. Ia sangat yakin,
berita yang ia sampaikan adalah berita bahagia bagi orangtuanya.
“Doa restu untuk
apa, Mama selalu akan mendoakanmu” jawab ibu Abdullah.
“Abdullah minta
Abah Mama melamar Raudhah, karena Raudhah sudah lulus Ma” pinta Abdullah
kemudian.
“Subhanalloh… Walhamdulillah… Insya Allah
Abah Mama akan datang… Nanti Abah mama diskusi dulu kapan bisa datang ke sana. Nanti mama kabari
ya..”
Hati Abdullah
sangat senang, tak sabar rasanya menunggu hari itu tiba.
Keesokan
harinya, ibu Abdullah menelpon dan memberitahukan bahwa beliau akan datang
bulan depan untuk melamar Raudhah. Kemudian Abdullah memberitahukan rencana
tersebut pada Raudhah. Kemudian Abdullah menelpon orangtua Raudhah untuk
memberitahukan kedatangan orangtuanya bulan depan.
Dalam pertemuan
keluarga Abdullah dengan keluarga Raudhah, diputuskan bahwa pernikahan akan
dilangsungkan 6 bulan ke depan. Berbagai persiapan dilakukan. Mulai dari
gedung, katering, dekorasi, perias, busana, penginapan juga transportasi.
Pernikahan ini diharapkan menjadi pernikahan sekali seumur hidup, sehingga
Abdullah dan Raudhah berusaha mempersiapkannya secara maksimal. Meskipun ada
kendala di sana
sini, semua wajar. Maklum, ini adalah hal yang pertama kali buat keduanya dan
mudah-mudahan jadi yang terakhir kalinya. Mereka tidak menginginkan pernikahan
yang mewah, hanya saja, mereka ingin membuat pernikahan mereka berjalan sakral
dan lancar.
Setelah masa
perkenalan selama lebih dari 2 tahun, akhirnya hari yang dinantikan itu pun
tiba. Dengan dibalut kebaya berwarna putih, yang dijahit sendiri oleh ibu
Abdullah, Raudhah tampak bahagia duduk bersanding dengan pria yang telah
dipilihnya untuk menjadi pendamping hidupnya. Abdullah tampak gugup bercampur
bahagia. Maklum, tak terbayangkan bagaimana rasanya mengucapkan ijab kabul. Rasa gugupnya jauh
melebihi sidang tugas akhir di depan profesor pengujinya, pikir Abdullah.
Mulutnya sesekali terlihat komat kamit, memanjatkan doa, agar ia bisa
mengucapkan ijab kabul
dalam satu nafas dengan lancar. Akhirnya saat itupun tiba. Dengan penuh
keyakinan, Abdullah bisa mengucapkan ijab kabul
dengan lantang. Alhamdulillah…
Setelah ijab kabul diucapkan, Yamin
menghampiri Abdullah, menyalami kemudian memeluknya. Yamin membisikkan sebuah
kalimat yang pernah diungkapkan sebelumnya pada saat masih di kost.
"Abdullah,
kau kini menjadi seorang suami, lakukan dengan berjamaah dengan istrimu, kau
yang menjadi imam dalam keluarga ini. Barakallahu
fiikum.."
Siang harinya,
resepsi dilaksanakan di tempat yang sama. Abdullah dan Raudhah tampak bahagia
menyalami dan menerima ucapan selamat dari sanak saudara, teman dan undangan
yang datang. Tak tampak rona kelelahan dari keduanya. Senyum tetap terlihat
dari keduanya.
Setelah menikah,
Raudhah langsung diboyong Abdullah untuk tinggal di Jakarta. Hal itu sudah dibicarakan sebelumnya
dengan kedua orang tua Raudhah dan mereka ikhlas melepas Raudhah.
No comments:
Post a Comment